Langsung ke konten utama

Humanistik

 

Humanistic Psychology

Abraham Maslow (1908–1970)

Maslow menjadi orang yang sangat berpengaruh dalam pembentukan psikologi humanistik sebagai cabang psikologi.

Maslow merumuskan piramida hierarchy of needs yang berisikan (dari yang paling dasar hingga yang paling atas):

1.       Physiological Needs (such as hunger, thirst, and sex)

2.       Safety Needs (protection from the elements, pain, and unexpected dangers)

3.       Belonging and Love Needs (the need to love and be loved, to share one’s life with a relevant other)

4.       Esteem Needs (to make a recognizable contribution to the well-being of one’s fellow humans)

5.       Self-Actualization (reaching one’s full, human potential)

Semakin rendah tingkatannya dalam piramida, maka kebutuhan tersebut semakin dasar dan semakin mirip dengan yang dimiliki oleh hewan-hewan lain. Sebaliknya, semakin tinggi tingkatannya, maka semakin menggambarkan manusia. Pemenuhan piramida ini harus bertahap. Kebutuhan yang paling dasar atau yang berada di paling bawah harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi.

Maslow menyimpulkan karakteristik orang-orang dengan self-actualizing, yang ia bentuk dengan mengamati contoh-contoh orangnya –seperti Albert Einstein, Albert Schweitzer, Sigmund Freud, Jane Addams, William James, dan Abraham Lincoln:

1.       Mempersepsikan kenyataan dengan tepat dan menyeluruh;

2.       Mendemonstrasikan penerimaan yang besar terhadap dirinya dan terhadap orang lain;

3.       Mempertunjukan spontanitas, dan apa adanya;

4.       Memiliki kebutuhan privasi;

5.       Cenderung independen dalam lingkungan dan budayanya;

6.       Mendemonstrasikan bentuk apresiasi yang selalu baru –tidak bosan;

7.       Cenderung memiliki periodic mystic or peak experiences *Maslow (1954/1987) described peak experiences as feelings of limitless horizons opening up to the vision, the feeling of being simultaneously more powerful and also more helpless than one ever was before, the feeling of great ecstasy and wonder and awe, the loss of placing in time and space with, finally, the conviction that something extremely important and valuable had happened, so that the subject is to some extent transformed and strengthened even in his daily life by such experiences. (p. 137)*;

8.       Berpusat pada seluruh manusia ketimbang pada teman, keluarga, atau kenalannya saja;

9.       Cenderung memiliki sedikit teman;

10.   Memiliki pemahaman etika yang kuat, namun tidak mudah menerima etika konvensional;

11.   Memiliki perkembangan yang baik, namun tidak anti terhadap humor;

12.   Kreatif.

Carl Rogers (1902–1987)

Rogers’s Client-Centered Psychotherapy

Rogers menciptakan pendekatan psikoterapi yang berorientasi pada klien (tidak disebut sebagai pasien) sebagai wujud penolakannya terhadap pendekatan yang berorientasi diagnostik. Suasana konseling pun diatur sepositif mungkin; dan hubungan pun diatur senyaman mungkin (konselor tidak memberi penilaian terhadap klien). Klien diberi kesempatan dan kebebasan untuk mengekspresikan diri dan emosi mereka; tanpa adanya penilaian, sugesti, atau solusi dari terapis. Efektivitas dari terapi ini diukur dengan Q-method –yang sebelumnya diciptakan oleh William Stephenson (1953). Rogers menggunakan real self sekaligus ideal self milik klien sebagai variabelnya. Semakin erat korelasi antar kedua variabel, berarti semakin efektif terapi yang dijalankan.

Metode ini didasarkan pada filosofi humanistik, dimana manusia adalah makhluk yang terlahir dengan pembawaan dasar yang baik; cenderung berorientasi pada tujuan positif; berkeinginan untuk maju; konstruksif; rasional; sosial; mampu untuk berperilaku sehat dan seimbang; cenderung berusaha untuk mengaktulisasikan diri; memiliki harga dan martabat diri.

Rogers’s Theory of Personality

Rogers mengembangkan teori kepribadian untuk menjelaskan fenomena yang ia observasi selama proses terapi. Seperti Maslow, Rogers mengemukakan sebuah dorongan bawaan menuju self-actualization (aktualisasi diri), dan jika seseorang menggunakan actualizing tendency ini sebagai orientasi dalam hidup mereka, akan ada kemungkinan besar mereka akan memenuhi hidup mereka dan juga dapat memaksimalkan potensi mereka. Orang-orang tersebut hidup menurut organismic valuing process. Dengan proses ini, seseorang akan memelihara pengalaman-pengalaman mereka yang selaras dengan actualizing tendency, serta menghilangkan dan menghindari pengalaman yang tak selaras. Mereka dimotivasi oleh perasaan mereka yang sebenarnya daripada oleh adat istiadat, kepercayaan, tradisi, nilai, atau ketentuan apapun yang dibuat oleh orang lain. Mereka menjalani hidup yang disebut sebagai ‘authentic life’ oleh para eksistensialis.

Tapi sayangnya, orang-orang tidak menjalani hidup sesuai dengan perasaan terdalam mereka (organismic valuing process). Ini karena semasa kita kecil, kita membutuhkan positive regard –seperti rasa sayang, kehangatan, simpati, dan penerimaan dari orang-orang. Jika terpenuhi, maka tidak ada masalah yang akan muncul. Namun, itu semua sulit terwujud tanpa syarat. Banyak orang tua atau orang-orang lainnya yang berpengaruh pada anak hanya memberikan positive regard jika anak tersebut melakukan sesuatu yang sesuai harapan tertentu. Ini menciptakan conditions of worth. Akibatnya, apa yang dipahami oleh anak-anak, yaitu bahwa jika ingin menerima kasih sayang, maka mereka harus bertindak dan berpikir sesuai dengan nilai-nilai standar yang ditetapkan oleh orang-orang di sekitar mereka. Perlahan-lahan, anak-anak menghayati nilai-nilai tersebut –yang kelak menggantikan organismic valuing process –yang sebenarnya merupakan pedoman hidup. Dan selanjutnya, pengalaman-pengalaman tertentu yang sebenarnya sesuai dengan organismic valuing process –akan ditolak. Satu-satunya solusi adalah unconditional positive regard; penerimanya akan menjadi fully functioning person.

Rogers menyebut orang-orang yang organismic valuing process-nya digantikan oleh conditions of worth sebagai incongruent person –yang mana sama dengan apa yang dimaksud para eksistensialis sebagai inauthentic person; keduanya tidak lagi menurut dengan perasaan mereka sendiri. Rogers memandang incongruency ini sebagai penyebab dari gangguan-gangguan mental, sehingga ia yakin bahwa tujuan dari psikoterapi adalah untuk membantu orang-orang yang menghadapi conditions of worth agar dapat hidup dengan organismic valuing process lagi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perkembangan Awal dalam Fisiologi dan Tumbuhnya Psikologi Eksperimen

  Fisiologi sendiri merupakan cabang ilmu yang berfokus pada fungsi-fungsi bagian tubuh manusia. Namun pada awal perkembangannya, fisiologi ini lebih berfokus pada sensasi dan persepsi, serta kaitannya dengan sistem saraf dan alat indera. Ini bermula dari perbedaan catatan tentang waktu perlintasan suatu bintang antara milik Nevil Maskelyne dan milik asistennya -David Kinnebrook. Lalu sekitar 20 tahun setelahnya, Friedrich Bessel (1784-1846) -seorang astronom Jerman menyadari bahwa kesalahan ini bukan terjadi akibat ketidakcakapan dalam mengukur, melainkan karena adanya perbedaan yang tidak disengaja antara para pengamat. Inilah yang kemudian disebut sebagai discrepancy.   Discrepancy between Objective and Subjective Reality                 Sebelumnya, discrepancy ini secara tidak langsung sudah dibahas oleh Galileo dan Locke melalui teori mereka mengenai primary and secondary qualities. Kemudia...

Perspektif Biologi

            Sistem saraf adalah suatu susunan kompleks sel-sel yang membawa informasi ke dan dari seluruh bagian tubuh. Cabang ilmu yang mempelajari sistem saraf ini adalah neurosains. Sedangkan psikologi biologis atau neurosains behavior merupakan cabang neurosains yang lebih fokus pada dasar-dasar biologis dalam proses-proses psikologis, tingkah laku, dan pembelajaran. A. Neuron dan Saraf             Neuron adalah sel khusus yang ada pada sistem saraf yang bertugas untuk menerima dan mengirimkan sinyal. Neuron memiliki beberapa bagian, yaitu: 1)       Badan sel ( soma cell ) yang berfungsi untuk mempertahankan keberlangsungan sel dan neuron (Cicarelli & White, 2017). Badan sel tersusun atas: a)       Satu nukleus tunggal, nukleolus yang menonjol dan organel lain, seperti badan golgi dan mitokondria. b)  ...

Psikologi Gestalt dan Kognitif

 Gestalt Psychology Antecedents of Gestalt Psychology Psikologi Gestalt (Jerman: ‘keseluruhan’) lahir hampir bersamaan dengan kemunculan behaviorisme. Psikologi Gestalt ini menolak program eksperimen Wundt yang melakukan pencarian tentang elemen-elemen kesadaran. Berbeda dengan para behavioris yang berfokus menyerang studi tentang kesadaran asosiasi metode introspeksi, psikologi Gestalt lebih berfokus pada elementisme Wundt. Menurut mereka, kesadaran tidak dapat direduksi ke dalam elemen-elemen tanpa mengurangi makna asli dari pengalaman kesadaran. Bagi mereka, investigasi mengenai pengalaman kesadaran melalui metode introspeksi adalah bagian esensial dari psikologi, namun tipe pengalaman kesadaran yang diinvestigasi oleh Wundt dan para struktualis U.S. adalah tiruan. Mereka yakin bahwa apapun yang kita alami/rasakan tidak hanya pada potongan-potongan tertentu saja, melainkan pada konfigurasi yang utuh dan penuh makna. Kita bukan melihat potongan-potongan warna, melainkan kita meli...