Fisiologi
sendiri merupakan cabang ilmu yang berfokus pada fungsi-fungsi bagian tubuh
manusia. Namun pada awal perkembangannya, fisiologi ini lebih berfokus pada
sensasi dan persepsi, serta kaitannya dengan sistem saraf dan alat indera.
Ini bermula
dari perbedaan catatan tentang waktu perlintasan suatu bintang antara milik
Nevil Maskelyne dan milik asistennya -David Kinnebrook. Lalu sekitar 20 tahun
setelahnya, Friedrich Bessel (1784-1846) -seorang astronom Jerman menyadari
bahwa kesalahan ini bukan terjadi akibat ketidakcakapan dalam mengukur,
melainkan karena adanya perbedaan yang tidak disengaja antara para pengamat.
Inilah yang kemudian disebut sebagai discrepancy.
Discrepancy
between Objective and Subjective Reality
Sebelumnya, discrepancy ini secara tidak langsung
sudah dibahas oleh Galileo dan Locke melalui teori mereka mengenai primary and secondary qualities. Kemudian,
Newton juga menemukan bahwa warna putih adalah campuran dari seluruh spektrum
warna, sekalipun warna-warna tersebut tidak tertangkap secara langsung. Serta
juga Van Musschenbroek (1760) menemukan bahwa jika warna-warna komplementer
(yang saling melengkapi) -seperti kuning dan biru ditampilkan dalam proporsi
yang sesuai pada piringan yang diputar dengan sangat cepat, maka yang tampak
bukanlah kuning dan/atau biru, melainkan abu-abu.
Akibat
dari kesadaran para ahli mengenai discrepancy
ini, maka muncullah cabang ilmu ilmiah baru, yaitu fisiologi -yang
mempelajari proses biologis dalam interaksi manusia terhadap dunia fisik. Para
ahli fisiologi mempelajari sifat-sifat saraf, konduksi saraf, perilaku
refleksif, persepsi indrawi, fungsi otak, dan hubungan sistematis antara
rangsangan indrawi dan sensasi.
Johannes Müller (1801–1858)
Adequate
Stimulation
Müller memperluas
hukum Bell–Magendie dengan membagi saraf-saraf sensorik menjadi 5 berdasarkan
karakteristik energi, sensitivitas, dan hasil informasinya. Tiap saraf
bertanggung jawab secara spesifik dalam menangkap rangsangan tertentu serta
menghasilkan informasi yang sesuai dengan fungsi dan karakteristik mereka
masing-masing, serta hanya akan aktif jika mendapat rangsangan yang sesuai (dormant ketika tidak mendapat rangsangan
yang sesuai). Contohnya seperti mata yang paling mudah dirangsang oleh
gelombang cahaya, telinga oleh gelombang suara, kulit oleh tekanan, dan
sebagainya. Namun, mata juga sebenarnya dapat dirangsang oleh tekanan, hanya
saja tidak terlalu memadai jika dibandingkan dengan gelombang cahaya. Bagi
Müller, kecocokan antara sensasi dan objek fisik yang sesungguhnya ditentukan
oleh indra kita dan iritabilitasnya.
We
Are Conscious of Sensations, Not of Physical Reality
Menurut
Müller, kita sebenarnya bukan sadar akan objek di dunia fisik, melainkan akan
berbagai impuls. Ini kemudian menjelaskan bahwa pengetahuan kita akan dunia
fisik dibatasi oleh tipe reseptor sensasi yang kita miliki.
Berbeda
dengan Kant yang menganggap bahwa informasi sensorik diubah oleh innate categories of thought, Müller
beranggapan bahwa sistem saraf lah yang menjadi perantara antara objek fisik
dan kesadaran. Kant menekankan mental
categories, sedangkan Müller menekankan mekanisme fisiologis. Namun tetap,
bagi mereka kedua, informasi sensorik dimodifikasi sehingga apa yang kita
rasakan dengan sadar berbeda dengan apa yang sebenarnya terjadi di dunia fisik.
Hermann von Helmholtz (1821– 1894)
Stand against Vitalism
Helmholtz
menolak vitalisme yang berpendapat bahwa kehidupan tidak dapat dijelaskan
melalui interaksi proses-proses fisika dan kimia. Helmholtz berpihak pada kaum
materialisme yang percaya bahwa hukum-hukum yang sama berlaku bagi benda hidup
maupun benda mati, sebagaimana pada fenomena mental dan fenomena non-mental.
Principle of Conservation of
Energy
Helmholtz
mengaplikasikan prinsip konservasi energi (dimana energi tidak diciptakan dan
tidak dimusnahkan, melainkan hanya bertransformasi dari satu wujud ke wujud
lainnya) pada makhluk hidup. Sebelumnya prinsip ini berlaku hanya pada
fenomena-fenomena fisika. Namun, Helmholtz mengaplikasikan prinsip ini pada
fisika, kimia, dan fisiologi secara lebih dekat.
Rate of Nerve Conduction
Helmholtz
melakukan percobaan pada kaki kodok dengan mengisolasi serabut saraf yang
mengarah pada otot kaki kodok, lalu merangsang serabut saraf pada berbagai
jarak terhadap otot. Ia kemudian menghitung berapa lama waktu yang diperlukan
otot untuk merespon. Dan hasilnya, ditemukan bahwa semakin dekat jarak rangsang
dengan letak otot, maka waktu yang dibutuhkan oleh otot untuk merespon semakin
cepat. Ia menyimpulkan bahwa impuls saraf bergerak sekitar 27.4m/s. Kemudian
Helmholtz melakukan percobaan yang sama terhadap manusia, dan ditemukan bahwa
kecepatannya berkisar antara 50.3-100.6m/s. Namun sayangnya, hasil percobaan
ini dianggap kurang tepat karena banyak perbedaan antar-data yang dihasilkan.
Theory of Perception
Bagi
Helmholtz, pengalaman masa lalu lah yang mengubah sensasi (bahan mentah dari
pengalaman penuh sadar) menjadi persepsi (sensasi yang telah diberi makna).
Contohnya, persepsi kita mengenai kedalaman meningkat oleh
pengalaman-pengalaman masa lalu, sehingga kita kemudian bisa mengira-ngira kedalaman
suatu objek. Dengan ini, Helmholtz mendukung teori empirisme mengenai persepsi
yang didasarkan pada pengalaman.
Theory of Color Vision
Teori
Young-Helmholtz atau teori trikromatik beranggapan bahwa mata memiliki 3
reseptor terpisah yang mana sensitif pada suatu energi tertentu, yaitu merah,
hijau, dan biru-violet. Namun, reseptor-reseptor ini dapat bekerja secara
bersamaan dan menciptakan hasil dari kombinasi warna. Bahkan, jika ketiganya
bekerja secara bersamaan, maka warna yang ditangkap adalah warna putih.
Ewald
Hering (1834-1918)
Space Perception
Hering percaya
bahwa ketika mata mendapat rangsangan, masing-masing titik pada retina secara
otomatis menyediakan 3 tipe informasi mengenai rangsangan tersebut: height (ketinggian), left-right position (posisi kanan/kiri),
dan depth (kedalaman). Menurutnya,
persepsi spasial (mengenai ruang) muncul sebagai a priori, yaitu sebagai
karakteristik bawaan dari mata.
Theory of Color Vision
Opponent Process Theory, dengan 3 pasang warna yang saling berlawanan yang mana terletak pada 3 batang reseptor mata:
- Merah vs Hijau
- Biru vs Kuning
- Hitam vs Putih
Jika kita melihat salah satu warna dengan lama, lalu kita mengalihkan
pandangan, maka kita akan merasakan afterimage
–yang mana mata kita menangkap gelombang warna yang berlawanan (sesuai
pasangan) akibat kelelahan atau kebosanan pada reseptor tersebut sehingga tidak
lagi peka pada warna yang telah dilihat secara terus-menerus dalam waktu lama.
Hering juga menegaskan bahwa orang-orang yang kesulitan membedakan warna
merah dengan warna hijau pasti tetap dapat menangkap warna kuning, dan yang
kesulitan membedakan warna biru dengan warna kuning pasti tetap dapat menangkap
warna merah. Begitu pula dengan orang-orang yang mengidap buta warna, mereka
akan kesulitan menangkap warna hijau dan warna merah dan/atau warna biru dan
warna kuning.
Penelitian
Awal Mengenai Fungsi Otak
Pada akhir abad ke-18, banyak dipercayai
bahwa karakterisik seseorang dapat ditentukan dengan menganalisis ciri wajah,
struktur tubuh, serta pola kebiasaan postur dan gerakan tubuh. Analisis ini
disebut dengan physiognomy. Salah
satu bagiannya yang menjadi sangat populer adalah phrenology –yang berfokus pada tengkorak dan otak.
Phrenology
Salah satu dari tokohnya adalah Franz
Joseph Gall (1758) –yang percaya bahwa faculties
of the mind berperan dan mengubah informasi sensorik. Namun, ia menambahkan
3 pernyataan yang mengubah sejarah dari faculty
psychology:
1)
The mental faculties do not exist to the
same extent in all humans.
2)
The faculties are housed in specific areas
of the brain.
3)
If a faculty is well developed, a person
would have a bump or protrusion on the corresponding part of the skull.
Similarly, if a faculty is underdeveloped, a hollow or depression would be on
the corresponding part of the skull.
Frenologi inilah yang kemudian meneliti bump atau protrusion serta hollow atau depression pada bagian otak untuk
menentukan kekuatan suatu faculty. Gall
juga menemukan bahwa korteks otak yang besar dan berkembang baik terasosiasi
dengan tingkah laku cerdas.
Frenologi kemudian berkembang pesat dan
menjadi harapan bagi penelitian-penelitian ilmiah dan objektif mengenai
pikiran. Berbeda dengan filosofi mental, frenologi menyediakan informasi praktis.
Bahkan, frenologi melahirkan formal
discipline yang mempercayai bahwa pengalaman pendidikan dapat disusun
sehingga dapat memperkuat faculties
terkait.
Johann Kaspar
Spurzheim (1776–1832)
Pierre Flourens (1794–1867)
The
Method of Extirpation, or Ablation
Flourens melakukan percobaan pada hewan seperti anjing dan merpati
–yang diasumsikan memiliki otak yang mirip dengan manusia, dengan menghilangkan
salah satu bagian otak dan mencatat perubahannya terhadap perilaku mereka. Ia
menemukan bahwa penghilangan otak kecil mengganggu koordinasi dan keseimbangan,
penghilangan otak besar menghasilkan kepasifan, dan penghangcuran saluran
semisirkular menghasilkan kehilangan keseimbangan.
Flourens
menyimpulkan bahwa ada lokalisasi pada seluruh bagian otak. Namun, bertentangan
dengan para frenologis, ia berpendapat bahwa hemisfer otak tidak memiliki
fungsi yang terlokalisasi, melainkan berfungsi sebagai suatu kesatuan. Selain
itu, ia juga menemukan bahwa ada beberapa hewan yang mendapatkan kembali fungsi
dari salah satu bagian otaknya sekalipun sudah dihilangkan. Dengan demikian,
setidaknya ada salah satu bagian otak yang memiliki kemampuan untuk mengambil
alih fungsi dari bagian otak lainnya.
Paul Broca (1824–1880)
Broca’s
Area
Broca melakukan penelitian terhadap seorang pasien yang tidak
dapat berbicara –sekarang dikenal dengan afasia. Setalah mengautopsi otak
pasien tersebut, ditemukan bahwa ada luka pada lilitan frontal ketiga pada
hemisfer kiri otak.
Selanjutnya,
melalui hasil penelitiannya, dikonfirmasi bahwa ada bagian hemisfer kiri otak
yang terlibat dalam produksi dan artikulasi bicara, yang kemudian dinamakan
sebagai area Broca. Dan satu dekade kemudian, tepatnya pada tahun 1874, Carl
Wernicke (1848–1905) menemukan sebuah area yang bertanggung jawab atas
pemahaman bahasa di dekat area Broca, tepatnya pada bagian kiri lobus temporal,
yang mana kemudian disebut sebagai area Wernicke.
Volume of the Brain
Melanjutkan
kraniometri (pengukuran tengkorak dan karakteristiknya) milik Zeitgeist, Broca
mulai melakukan penelitian. Ia menemukan bahwa secara umum, ukuran otak lebih
besar pada orang dewasa daripada anak-anak, pada laki-laki daripada perempuan,
pada orang unggul daripada orang biasa, serta pada kaum superior daripada kaum
inferior. Ia juga menyatakan bahwa ada hubungan antara perkembangan kecerdasan
dengan volume otak. Namun Broca agak ragu karena ia menemukan bahwa fakta di
lapangan banyak yang tidak sesuai dengan teorinya.
Perkembangan
Psikologi Eskperimen
Ernst Heinrich Weber (1795–1878)
Weber’s
Work on Touch
Weber secara
besar melakukan penelitian pada lingkup baru, yaitu sensasi kulit dan otot. Ia
menjadi salah satu yang pertama kali menunjukkan bahwa sensasi dari sentuhan bukan
hanya terdiri atas satu sensasi saja, melainkan banyak, yakni mencakup sensasi
tekanan, suhu, dan rasa sakit.
Selanjutnya,
Weber melakukan penelitian untuk menyatakan apa yang disebutnya sebagai two-point threshold, yaitu jarak terdekat
antara dua titik rangsangan yang dapat disadari sebagai titik yang berbeda. Dan
ia menemukan bahwa ukuran threshold ini
berbeda-beda bergantung pada letaknya di tubuh.
Weber’s Work on Kinesthesis
Weber
mencetuskan just noticeable difference
(jnd), yaitu perbedaan terkecil yang dapat dideteksi dari dua rangsangan
yang berbeda. Penelitiannya dilakukan dengan dua metode. Yang pertama, yaitu
beban ditaruh pada tangan subjek yang terletak pada sebuah meja, sehingga
pengamatan oleh subjek berdasar pada sensasi taktil. Yang kedua, yaitu beban
diangkat oleh subjek, sehingga pengamatan oleh subjek berdasar pada sensasi taktil
dan sensasi kinestetik. Weber menemukan bahwa subjek dapat lebih mendeteksi
perbedaan kecil antar-berat dengan cara mengangkat beban tersebut. Weber
beranggapan bahwa pengaruh dari kinestetik lah yang memberikan sensitivitas
lebih kuat pada perubahan berat.
Judgments Are Relative, Not
Absolute
Melalui
rangkaian penelitiannya, Weber menemukan bahwa diskriminasi yang terjadi tidak
bergantung pada perbedaan mutlak antara berat kedua benda, melainkan pada
perbedaan relatif antara keduanya, atau perbedaan perbandingan satu sama lain. Semakin
besar intensitas rangsangan awal, maka semakin besar juga perubahan intensitas
rangsangan akhir yang dibutuhkan agar perbedaannya terasa. Jnd-nya kemudian dikenal dengan Hukum Weber –yang mana menjadi
hukum kuantitatif pertama sepanjang sejarah psikologi.
Gustav Theodor Fechner (1801–1887)
Psychophysics
Fechner
menerima pandangan Spinoza mengenai pikiran dan materi, yang mana juga
menyatakan bahwa kesadaran yang dimiliki oleh pikiran adalah suatu hal yang
juga dimiliki oleh materi. Kepercayaan
bahwa kesadaran tidak dapat dipisahkan dari hal-hal berwujud –menunjukkan
pandangan panpsikisme.
Fechner
berpendapat bahwa hubungan sistematis antara pengalaman tubuh dan mental dapat
dibuktikan dengan pengamatan terhadap perbedaan sensasi dari rangsangan fisik
yang bervariasi secara sistematis. Ia berspekulasi bahwa karena sensasi mental
berubah secara aritmatika, maka rangsangan fisik harus diubah secara geometris.
Area psikologi yang mempelajari ini disebut dengan psychophysics (penelitian mengenai hubungan antara fisik dan kejadian
psikologis).
Psychophysical Methods
Intensitas
terendah rangsangan yang dapat dideteksi disebut dengan absolute threshold. Tingkat intensitas yang lebih rendah dari absolute threshold ini sebenarnya juga
dapat menghasilkan suatu reaksi, namun reaksi ini di luar kesadaran, yang menerima
negative sensations.
Selain
itu, ada differential threshold yang
ditentukan oleh seberapa besar kenaikan/penurunan besaran rangsangan yang
dibutuhkan agar dapat dideteksi. Fechner menggunakan beberapa metode untuk
mengeksplor lebih dalam hubungan pikiran dan tubuh.
1)
The method of
limits (the method of just noticeable differences), dimana suatu
rangsangan yang diberikan –bervariasi dan dibandingkan terhadap suatu standar. Pada
awalnya, rangsangan yang diberikan akan setara dengan standar, lalu kemudian
ditambah/dikurang hingga pengamat dapat mendeteksi jangkauan dari rangsangan
yang setara dengan standar yang ditentukan sebelumnya.
2)
The method of
constant stimuli (the method of right and wrong cases), dimana pasangan-pasangan
rangsangan akan diberikan kepada pengamat. Salah satu rangsangan menjadi
standar, dan satu lainnya berbeda. Pengamat kemudian akan diminta untuk
menentukan apakah rangasangan yang berbeda tersebut lebih kuat, lebih ringan,
atau setara dengan standar.
3)
The method of
adjustment (the method of average error), dimana
pengamat akan diberi control untuk menyesuaikan rangsangan hingga setara dengan
standar. Setelah itu, perbedaan rata-rata antara rangsangan dan standar akan
diukur.
Komentar
Posting Komentar