Early U.S.
Psychology
Perkembangan awal
psikologi memang terjadi di Eropa dengan pelopor utamanya –yaitu, Wilhelm
Wundt. Namun, perkembangan pesatnya terjadi di Amerika, diawali dengan aliran
fungsionalisme. Bahkan kini, APA menjadi kiblat utama di bidang psikologi.
Selain itu, pesatnya perkembangan psikologi di Amerika juga disebabkan oleh
pengungsian ahli-ahli psikologi dari Eropa ketika era kekuasaan Nazi. Ini
dibantu juga dengan liberalisme serta pragmatisme yang dianut Amerika.
Menurut Sahakian
(1975), ada 4 tahapan awal dari psikologi di U.S.:
1.
Tahap Satu: Moral
and Mental Philosophy (1640-1776)
Merupakan
tahap filsafat moral dan mental, sehingga psikologi mencakup topik-topik
seputar ethics, divinity, dan philosophy. Psikologi berfokus pada hal
yang berkaitan dengan jiwa. Sebagaimana ilmu-ilmu lainnya, psikologi
dikombinasikan dengan doktrin agama.
2.
Tahap Dua:
Intellectual Philosophy (1776-1886)
Psikologi
mulai meninggalkan dunia filsafat dan teologi, lalu beranjak menjadi suatu
disiplin terpisah yang berada di bawah pengaruh para filsuf Scottish –dengan
keyakinan mereka bahwa self-examination,
or introspection, yields valid information and that morality is based on self-evident
intuitions. Pada tahap ini, psikologi didefinisikan sebagai ilmu sains yang
mempelajari jiwa manusia dan topik-topik seputar psikologi sebagai cabang ilmu
fisika, psikologi sebagai ilmu sains, kesadaran, persepsi indera, perkembangan
intelektual, asosiasi idea, ingatan,
dan penalaran.
3.
Tahap Tiga: The
U.S. Renaissance (1886-1896)
Pada
tahap ini, psikologi merdeka dari doktrin agama dan filsafat, lalu menjadi
sebuah ilmu empiris yang mana mulai mengkaji perbedaan antar-individu, adaptasi
lingkungan, dan kepraktisan. Ini mengapa U.S. menjadi tempat kelahiran bagi
fisiognomi, frenologi, mesmerisme, dan spiritualisme.
4.
Tahap Empat: U.S.
Functionalism (1896-sekarang)
Pada
tahap ini, ilmu sains, persoalan kepraktisan, pemusatan perhatian terhadap
masing-masing individu, dan teori evolusiner bergabung membentuk
fungsionalisme. Dimulai dengan dipublikasikannya The Principles of Psychology (1890) karya William James.
Characteristics
of Functionalistic Psychology
Fungsionalisme sebenarnya
bukanlah school of thought yang dapat
dijelaskan dengan baik; tidak memiliki seorang pimpinan yang diakui atau bahkan
metodologi yang disepakati. Namun menurut Keller (1973), ada beberapa gambaran pokok
mengenai fungsionalisme:
1. Para fungsionalis
menentang pencarian elemen-elemen kesadaran yang dilakukan oleh para
struktualis
2. Para fungsionalis
ingin memahami fungsi pikiran ketimbang menawarkan deskripsi statis mengenai
komponen-komponennya. Mereka percaya bahwa proses mental memiliki fungsi
tersendiri, terutama untuk membantu individu dalam beradaptasi dengan alam.
3. Para fungsionalis
menginginkan psikologi menjadi ilmu praktis, bukan ilmu murni, agar dapat
diterapkan dalam memperbaiki kehidupan pribadi, pendidikan, industry, dan
sebagainya.
4. Para fungsionalis
mendesak peluasan lingkup psikologi sehingga mencakup hewan, anak-anak, dan
manusia abnormal, serta juga pertambahan keberagaman metolodogi dengan
menyertai puzzle, labirin, dan tes
mental.
5. Para fungsionalis
lebih tertarik pada alasan mengapa proses mental dan perilaku ditutuntun secara
langsung menuju suatu tujuan dengan motivasi. Dikarenakan perubahan kebutuhan/keinginan
individu mempengaruhi tindakannya sekalipun lingkungannya tetap sama, maka
kebutuhan/keinginan ini harus lebih dulu dipahami sebelum tindakan yang
diakibatkannya dapat dipahami.
6. Para fungsionalis
menerima proses mental dan perilaku sebagai subjek penelitian psikologi yang
sah, dan kebanyakan dari mereka memandang introspeksi sebagai salah satu dari
alat penelitian yang sah.
7. Para fungsionalis
lebih tertarik pada apa yang membuat organisme berbeda satu sama lain daripada
apa yang membuat mereka sama.
8. Seluruh
fungsionalis secara, langsung maupun tidak, terpengaruh oleh William James
–yang mana dipengaruhi oleh teori evolusi Darwin.
William James (1842-1910)
James mewakili transisi
antara psikologi Eropa dan psikologi Amerika. Sebelumnya, James sempat
mengalami depresi yang tampaknya disebabkan dari implikasi psikologi dan
fisiologi materialistik Jerman yang menurutnya sangat mengesankan. Ia
menganggap bahwa apapun yang terjadi padanya telah ditentukan sebelumnya dan di
luar control dirinya, sehingga ia menganggap bahwa depresi adalah bagian dari
takdir hidupnya. James juga menerima teori evolusi Darwin yang mana mempertajam
masalah depresinya. Menurut pandangan Darwin, ada variasi, seleksi alam, dan
pertahanan hidup yang terbaik; sehingga tidak ada kebebasan, harapan, maupun
pilihan.
Titik balik James dimulai setelah ia membaca esai
Charles-Bernard Renouvier (1815–1903). Depresinya perlahan sembuh, bahkan ia
menjadi sangat produktif. Dan disinilah awal mula ia menganut pragmatisme
–kepercayaan bahwa “If an idea works, it
is valid.”
Stream of Consciousness
Melalui konsep ‘stream of consciousness’-nya, James
menentang orang-orang yang sibuk mencari elemen pikiran. Ada beberapa hal yang
James tekankan:
1. Consciousness is personal;
2. Consciousness is continuous and cannot be divided up
for analysis;
3. Consciousness is constantly changing;
4. Consciousness is selective;
5. Consciousness is functional.
Habits and Instincts
James (1890/1950)
percaya bahwa kebanyakan perilaku hewan dan manusia diperintah oleh naluri. Ia
tidak percaya bahwa perilaku naluriah itu “blind
and invariable”, melainkan dapat dimodifikasi oleh pengalaman. Bahkan ia
percaya bahwa pola naluri baru dari perilaku selalu berkembang sepanjang usia.
James menyebut pola ini sebagai kebiasaan (habits)
–yaitu merupakan aktivitas yang diulang. Kebiasaan ini bersifat fungsional
karena dapat menyederhanakan pergerakkan untuk mencapai suatu tujuan,
meningkatkan ketepatan tindakan, mengurangi kelelahan, dan mengurangi kebutuhan
akan kesadaran dalam melakukan suatu tindakan.
James memberikan
5 anjuran untuk mengembangkan kebiasaan baik dan mengurangi yang buruk:
1. Tempatkan diri
dalam kondisi yang menggiatkan kebiasaan baik dan menyusutkan kebiasaan buruk.
2. Jangan
mengizinkan diri sendiri untuk berbalik dari kebiasaan baik yang sedang
ditekuni untuk dikembangkan.
3. Jangan mencoba
untuk memperlambat perkembangan kebiasaan baik, atau menghambat penghilangan
kebiasaan buruk.
4. Dalam
melaksanakan kebiasaan baik dan menghindari kebiasaan buruk, maksud dan tujuan
bukanlah hal yang penting disini; melainkan apa yang kita lakukan.
5. Paksa diri untuk
melakukan tindakan atau perilaku yang bermanfaat walaupun awalnya tidak
menyenangkan dan membutuhkan banyak pertimbangan.
Seluruh anjuran
ini berpusat pada sebuah prinsip fundamental, yaitu “Act in ways that are compatible with the type of person you would like
to become.”
The Self
James (1892/1985)
mendiskusikan apa yang ia sebut sebagai empirical
self, atau yang disebut ‘saya’ dalam diri individu, yang mana terdiri atas
semua yang dapat disebut sebagai miliknya. Bukan hanya tubuh dan kekuatan
tubuhnya, melainkan juga ke pakaiannya, rumahnya, pasangan dan anak-anaknya,
dan sebagainya.
James membagi empirical self menjadi 3 komponen:
1. The material self, yang mana
mencakup seluruh material yang dapat disebut sebagai miliknya pribadi, seperti
tubuhnya, keluarganya, dan propertinya.
2. The social self, yaitu gambaran
diri yang dikenali dan dibentuk oleh orang lain.
3. The spiritual self, yang mana
mencakup kondisi kesadaran, atau segala sesuatu yang kita pikirkan sebagaimana
kita menganggap diri kita sebagai pemikir. Selain itu juga termasuk emosi-emosi
yang berhubungan dengan berbagai kondisi kesadaran
Hugo Münsterberg (1863–1916)
Berbeda dengan James yang
sangat beroposisi terhadap Wundt, Münsterberg sebelumnya merupakan asisten
Wundt. Tugasnya saat itu adalah untuk mempelajari aktivitas voluntary melalui introspeksi.
Münsterberg’s Applied Psychology
Clinical Psychology
Dalam usahanya untuk memahami penyebab perilaku abnormal, Münsterberg
mengamati beberapa orang dengan penyakit mental. Ia memberikan treatment secara gratis dengan tujuan
ilmiah kepada para pasien kasus alkoholisme, ketergantungan obat-obatan, fobia,
dan disfungsi seksual, namun tidak kepada penderita psikosis. Ia rasa, psikosis
diakibatkan oleh kemunduran sistem saraf dan tidak dapat diberi tindakan. Treatment ini dimaksudkan untuk membuat
para pasien berusaha membentuk ekspektasi untuk berkembang. Münsterberg juga
menggunakan reciprocal antagonism yang
memperkuat pikiran agar menentang penyebab-penyebab dari penyakit.
Forensic Psychology
Münsterberg menunjukkan
bahwa testimony dari saksi mata tidak bisa dipercaya karena kesan sensoriknya
bisa saja mengalami ilusi, lalu sugesti dan stres dapat mempengaruhi persepsi,
serta ingatan juga tidak selalu akurat. Ia yakin bahwa interogasi yang keras
dapat menghasilkan pengakuan yang salah. Melalui bukunya –On the Witness Stand (1908), ia memperkenalkan suatu alat yang
dapat mendeteksi kebohongan melalui observasi terhadap perubahan detak jantung
dan respirasi.
Industrial Psychology
Topik yang tercakup meliputi
metode seleksi pegawai, metode peningkatan efisiensi kerja, serta teknik
pemasaran dan pengiklanan. Contohnya, pada seleksi pegawai, ia menyarankan
untuk menetapkan kemampuan-kemampuan yang dibutuhkan untuk melakukan suatu tugas,
lalu menentukan kemampuan orang yang cocok terhadap tugas-tugas tersebut.
Granville Stanley Hall (1844–1924)
President of Clark University
Hall menjadi presiden pertama Universitas Clark di Worcester,
Massachusetts. Pada 8 Juli 1892, sebuah rapat yang diadakan oleh Hall bersama
dengan psikolog-psikolog paling terkemuka di Amerika Serikat dan Kanada menjadi
cikal bakal dari APA. Hall sendiri menjadi presiden pertama APA.
Pada 1917, Hall mempublikasikan
karyanya yang berjudul “Jesus, the
Christ, in the Light of Psychology”, dimana ia menggambarkan Yesus sebagai
makhluk mitos yang melambangkan seluruh kecenderungan terbaik manusia. Cerita
mengenai kematian dan kebangkitan-Nya mewujudkan ritme mendasar atas kehidupan
psikis, dari kesakitan menuju kegembiraan; merasakan dan memahami ritme ini
dalam perubahan adalah suatu pelajaran tertinggi dalam hidup.
Recapitulation Theory
Hall merasa bahwa teori evolusi
lebih bertindak sebagai model sains daripada psikis; evolusi bukan hanya
menjelaskan perkembangan filogenetik (hubungan kekerabatan berdasarkan evolusi)
dari spesies manusia (dari Meganthropus ke Pithecanthropus hingga Homo sapiens),
namun juga menjelaskan perkembangan dari setiap individu itu sendiri. Ia yakin
bahwa tiap individu pada masa hidup mereka masing-masing pasti merasakan
kembali seluruh tahap evolusi spesies manusia. Ide ini disebut sebagai Recapitulation Theory.
“Every child, from the moment of conception to maturity, recapitulates,
very rapidly at first, and then more slowly every stage of development through
which the human race from its lowest beginnings has passed.” (Hall, 1923,
p. 380)
Pada perkembangan pralahir,
suatu organisme bersel satu berkembang menjadi seorang bayi yang kemampuannya
setara dengan sejumlah mamalia yang lebih rendah dari manusia pada skala
filogenetik. Pada masa kanak-kanak, masih ada bukti-bukti keimpulfisan,
kekejaman, dan amoralitas yang mencirikan tahap-tahap kurang beradab dari
perkembangan manusia yang sebelumnya. Jika impuls primitif ini tidak
diungkapkan pada masa kanak-kanak, maka akan dibawa hingga masa dewasa. Oleh
sebab itu, Hall menganjurkan para orang tua dan guru agar dapat menciptakan
situasi dimana impuls primitif ini dapat diungkapkan.
He recommended that children be kept away from school until the age of
eight, since formal schooling might harm a young child's development. Young
children should roam the countryside to learn the ways of nature or satisfy
their instincts in informal settings free from adult standards of proper
behaviour. Guided by their own natural impulses, children would pass through
the stages of childhood to become self-controlled adults.
Hall’s Magnum Opus
Melalui bukunya, Adolescence: Its Psychology and Its
Relations to Physiology, Anthropology, Sociology, Sex, Crime, Religion and
Education, Hall berfokus pada berbagai hal, termasuk norma-norma
pertumbuhan, perkembangan bahasa, penyakit-penyakit zaman kanak-kanak,
kebersihan, kejahatan remaja, berbohong, pamer dan malu, ketakutan,
keingintahuan, dan pertemanan. Terlebih lagi, Hall memberikan penjelasan detail
mengenai masa remaja dan masturbasi (Hall menolak pernyataan bahwa masturbasi
dapat menyebabkan psikosis atau bahkan kematian; namun Hall yakin bahwa ada
beberapa dampak buruk yang timbul dari masturbasi; Hall memberikan tips untuk
menghindari kebiasaan buruk ini).
Religious Conversion
Hall percaya bahwa religious conversion selama masa remaja
bersifat natural, normal, universal, dan merupakan proses penting. Menurutnya,
dosa bukanlah state of evil,
melainkan suatu sense of limitation
dan imperfection yang harus dipahami
secara psikologis, bukan sekadar melalui dogma agama.
Hall’s Opposition to Coeducation
Hall menolak sekolah campuran.
Menurutnya, menyatukan perempuan dan laki-laki pada satu sekolah yang sama
tidaklah masuk akal karena seharusnya perempuan (sebagai inti dari evolusi di
masa depan, menurutnya) difokuskan untuk siap menjadi ibu, sedangkan laki-laki
masih butuh untuk memuaskan dorongan primitif mereka. Terlebih lagi, pada masa
perkembangan, kebiasaan yang dipelajari ketika masa kanak-kanak mulai
tersingkirkan, namun kebiasaan dewasa belum dipelajari. Oleh sebab itu,
individu akan bergantung pada insting mereka.
Tokoh-tokoh Fungsionalis di Universitas Chicago
John Dewey (1859–1952)
Walaupun yang kita ketahui
adalah bahwa Dewey dipengaruhi kuat oleh James, namun Shook (1995) menunjukkan
bahwa beberapa ide fungsionalis Dewey berasal dari voluntarisme milik Wundt.
Dewey berargumen bahwa pembagian
elemen-elemen refleks yang berupa proses sensoris, proses otak, dan respon motorik
untuk analisis adalah sesuatu yang palsu dan sesat. Ketiga elemen ini harus
dipandang sebagai suatu sistem koordinasi dengan tujuan tertentu –yang mana
tujuannya berhubungan dengan pertahanan hidup individu. Menurutnya, arus yang
membentuk perilaku dan kesadaran berbeda.
Dewey menekankan bahwa seluruh
perilaku dapat dipandang melalui fungsinya, yaitu sebagai bentuk adaptasi
terhadap lingkungan sekitar. Dia juga percaya bahwa perubahan sosial tidak
dapat dihindari, namun dapat dipengaruhi secara positif oleh perencanaan aksi
yang tepat. Dewey bahkan memberikan pengaruh besar pada apa yang kelak disebut
sebagai pendidikan progresif di Amerika. Ia yakin bahwa pendidikan seharusnya
lebih berorientasi pada murid daripada pada pelajaran, dan menurutnya cara
terbaik untuk belajar –yang kelak menjadi kalimat terkenal, yaitu dengan “learn by doing”. Pendidikan, menurutnya,
juga harus memfasilitasi kecerdasan dan mempersiapkan anak-anak untuk hidup
efektif di tengah masyarakat komplek.
James Rowland Angell (1869–1949)
Angell membedakan psikologi
fungsional dan struktural, dan menetapkan 3 poin penting:
1.
Psikologi fungsional lebih
memperhatikan operasi mental dibandingkan elemen kesadaran, namun operasi
mental yang terisolasi mendapatkan sedikit perhatian.
2.
Proses mental menengahi
kebutuhan organisme dan lingkungan. Oleh sebab itu, fungsi mental membantu
organisme bertahan hidup. Kebiasaan perilaku memungkinkan organisme untuk menyesuaikan
diri terhadap situasi yang lazim atau dikenal akrab; namun ketika organisme
dihadapkan dengan situasi baru, proses mental menyokong proses adaptasi.
3.
Pikiran dan tubuh tidak dapat
dipisahkan; mereka bertindak sebagai suatu unit dalam pergumulan organisme
dalam bertahan hidup.
Ketika Angell menyuarakan 3 poin tersebut, fungsionalisme menjadi
suatu sekolah yang resmi dan berkembang, serta menjadi kompetitor terhadap
strukturalisme. Karena kekerabatannya dengan teori evolusi, fungsionalisme tidak
hanya mendorong penelitian terhadap kesadaran, namun juga terhadap perilaku
hewan, psikologi anak, pembentukan kebiasaan, dan perbedaan individu. Bahkan
dengan orientasi pragmatis yang kuat, fungsionalisme juga mendorong prinsip-prinsip
psikologi untuk diaplikasikan ke dalam pendidikan, bisnis, dan psikologi
klinis.
Harvey Carr (1873–1954)
Menurut Carr, para fungsionalis
berfokus pada proses pembelajaran karena belajar adalah kunci utama dalam
penyesuaian diri terhadap lingkungan. Pusat dari psikologi Carr adalah adaptive act, yang terdiri atas 3
komponen: 1) sebuah motif yang merangsang perilaku –seperti rasa lapar dan rasa
haus, 2) kondisi lingkungan atau situasi dimana organisme berada, dan 3)
tanggapan yang memuaskan motif –seperti makan dan minum. Dan proses belajar
yang terbentuk adalah ketika organisme berhasil menemukan cara untuk memuaskan
motifnya, sehingga ia akan mengulangi hal yang sama ketika motif tersebut
muncul kembali –dengan lebih efektif dan efisien dibandingkan yang sebelumnya.
Bagi Carr, persepsi dan perilaku sangat penting dalam beradaptasi terhadap
lingkungan karena itu menentukan pandangan terhadap lingkungan atau apa yang
ditangkap/dirasakan dari lingkungan, serta menentukan bagaimana tanggapan yang
harus diberikan. Contohnya, reaksi kita ketika melihat hewan liar di kebun
binatang akan berbeda dengan melihat hewan liar di hutan.
Selain
adaptive act, Carr juga mencakup
pembahasan mengenai bagian-bagian dalam sistem saraf dan alat indera, pembelajaran,
pemahaman (terlebih terhadap ruang), penalaran, afeksi, kehendak, perbedaan
individu, dan pengukuran kecerdasan.
Tokoh-tokoh Fungsionalis di Universitas Kolombia
James
McKeen Cattell (1860–1944)
Cattell melakukan banyak
penelitian pada bidang waktu reaksi, psikofisika, dan pengujian mental. Ia
setuju dengan Galton bahwa kepintaran dapat diukur dengan mempelajari
kemampuan-kemampuan sensorik dan motorik; dan bahwa pengetahuan dan metode
harus selalu dievaluasi sesuai dengan kegunaan mereka.
“All our systems of
education, our churches, our legal systems, our governments and the rest are
applied psychology.” (1904, p. 186) Cattel yakin
bahwa psikologi mempengaruhi segala tindakan, dimana setiap orang menerapkan
prinsip-prinsip psikologis ke dalam setiap kegiatan mereka. Ini bukan tentang
apakah tingkah laku harus dikontrol atau tidak, melainkan tentang penggunaan
pengetahuan yang terpercaya dari prinsip-prinsip psikologis dalam menjalankan
kontrol tersebut. Disini ia menunjukkan bahwa yang terpenting dari
fungsionalisme adalah mempelajari fungsi tingkah laku beserta hubungannya
dengan tingkah laku lain.
Robert
Sessions Woodworth (1869– 1962)
Woodworth tertarik dengan apa
dan terlebih mengapa seseorang melakukan sesuatu. Fokus utamanya adalah
motivasi, sehingga ia menamakan brand of psychology-nya
dengan sebutan dynamic psychology. Seperti Dewey, Woodworth tidak setuju
dengan orang-orang yang berkata bahwa penyesuaian diri terhadap lingkungan
adalah persoalan tentang rangsangan, proses otak, dan respons. Woodworth
menggunakan S-O-R (stimulus-organism-response) dan konsep adaptive act –yang merujuk pada cara organisme berinteraksi dengan
lingkungannya dengan maksud memuaskan kebutuhan. Adaptive act selalu bersifat tidak aktif, kecuali diaktivasi oleh
suatu kebutuhan atau dorongan. Dengan demikian, dalam suatu lingkungan fisik
yang sama, organisme dapat bertingkah berbeda tergantung pada apa yang mereka
butuhkan atau apa yang mendorong mereka. Kondisi internal mereka mengaktivasi
perilaku mereka.
Edward Lee
Thorndike (1874–1949)
Melalui karyanya, Your City (1939), Thorndike menyatakan
bahwa kepintaran sangat mungkin diwariskan; dan pengalaman edukatif harus
dibuat menjadi tingkat-tingkatan berdasarkan kemampuan intelektual alamiah
murid.
Konsepnya yang berjudul The Law of Use & The Law of Disuse menyatakan
"we learn by doing and forget by not
doing". Selanjutnya, konsepnya yang berjudul The Law of Effect menyatakan bahwa jika suatu asosiasi diiringi
dengan “satisfying state of affairs”
maka akan bertambah kuat, sedangkan jika diiringi dengan “annoying state of affairs” maka akan melemah.
Komentar
Posting Komentar