Langsung ke konten utama

Fungsionalisme

 

Early U.S. Psychology

Perkembangan awal psikologi memang terjadi di Eropa dengan pelopor utamanya –yaitu, Wilhelm Wundt. Namun, perkembangan pesatnya terjadi di Amerika, diawali dengan aliran fungsionalisme. Bahkan kini, APA menjadi kiblat utama di bidang psikologi. Selain itu, pesatnya perkembangan psikologi di Amerika juga disebabkan oleh pengungsian ahli-ahli psikologi dari Eropa ketika era kekuasaan Nazi. Ini dibantu juga dengan liberalisme serta pragmatisme yang dianut Amerika.

Menurut Sahakian (1975), ada 4 tahapan awal dari psikologi di U.S.:

1.       Tahap Satu: Moral and Mental Philosophy (1640-1776)

Merupakan tahap filsafat moral dan mental, sehingga psikologi mencakup topik-topik seputar ethics, divinity, dan philosophy. Psikologi berfokus pada hal yang berkaitan dengan jiwa. Sebagaimana ilmu-ilmu lainnya, psikologi dikombinasikan dengan doktrin agama.

2.       Tahap Dua: Intellectual Philosophy (1776-1886)

Psikologi mulai meninggalkan dunia filsafat dan teologi, lalu beranjak menjadi suatu disiplin terpisah yang berada di bawah pengaruh para filsuf Scottish –dengan keyakinan mereka bahwa self-examination, or introspection, yields valid information and that morality is based on self-evident intuitions. Pada tahap ini, psikologi didefinisikan sebagai ilmu sains yang mempelajari jiwa manusia dan topik-topik seputar psikologi sebagai cabang ilmu fisika, psikologi sebagai ilmu sains, kesadaran, persepsi indera, perkembangan intelektual, asosiasi idea, ingatan, dan penalaran.

3.       Tahap Tiga: The U.S. Renaissance (1886-1896)

Pada tahap ini, psikologi merdeka dari doktrin agama dan filsafat, lalu menjadi sebuah ilmu empiris yang mana mulai mengkaji perbedaan antar-individu, adaptasi lingkungan, dan kepraktisan. Ini mengapa U.S. menjadi tempat kelahiran bagi fisiognomi, frenologi, mesmerisme, dan spiritualisme.

4.       Tahap Empat: U.S. Functionalism (1896-sekarang)

Pada tahap ini, ilmu sains, persoalan kepraktisan, pemusatan perhatian terhadap masing-masing individu, dan teori evolusiner bergabung membentuk fungsionalisme. Dimulai dengan dipublikasikannya The Principles of Psychology (1890) karya William James.

 

Characteristics of Functionalistic Psychology

            Fungsionalisme sebenarnya bukanlah school of thought yang dapat dijelaskan dengan baik; tidak memiliki seorang pimpinan yang diakui atau bahkan metodologi yang disepakati. Namun menurut Keller (1973), ada beberapa gambaran pokok mengenai fungsionalisme:

1.       Para fungsionalis menentang pencarian elemen-elemen kesadaran yang dilakukan oleh para struktualis

2.       Para fungsionalis ingin memahami fungsi pikiran ketimbang menawarkan deskripsi statis mengenai komponen-komponennya. Mereka percaya bahwa proses mental memiliki fungsi tersendiri, terutama untuk membantu individu dalam beradaptasi dengan alam.

3.       Para fungsionalis menginginkan psikologi menjadi ilmu praktis, bukan ilmu murni, agar dapat diterapkan dalam memperbaiki kehidupan pribadi, pendidikan, industry, dan sebagainya.

4.       Para fungsionalis mendesak peluasan lingkup psikologi sehingga mencakup hewan, anak-anak, dan manusia abnormal, serta juga pertambahan keberagaman metolodogi dengan menyertai puzzle, labirin, dan tes mental.

5.       Para fungsionalis lebih tertarik pada alasan mengapa proses mental dan perilaku ditutuntun secara langsung menuju suatu tujuan dengan motivasi. Dikarenakan perubahan kebutuhan/keinginan individu mempengaruhi tindakannya sekalipun lingkungannya tetap sama, maka kebutuhan/keinginan ini harus lebih dulu dipahami sebelum tindakan yang diakibatkannya dapat dipahami.

6.       Para fungsionalis menerima proses mental dan perilaku sebagai subjek penelitian psikologi yang sah, dan kebanyakan dari mereka memandang introspeksi sebagai salah satu dari alat penelitian yang sah.

7.       Para fungsionalis lebih tertarik pada apa yang membuat organisme berbeda satu sama lain daripada apa yang membuat mereka sama.

8.       Seluruh fungsionalis secara, langsung maupun tidak, terpengaruh oleh William James –yang mana dipengaruhi oleh teori evolusi Darwin.

 

William James (1842-1910)

            James mewakili transisi antara psikologi Eropa dan psikologi Amerika. Sebelumnya, James sempat mengalami depresi yang tampaknya disebabkan dari implikasi psikologi dan fisiologi materialistik Jerman yang menurutnya sangat mengesankan. Ia menganggap bahwa apapun yang terjadi padanya telah ditentukan sebelumnya dan di luar control dirinya, sehingga ia menganggap bahwa depresi adalah bagian dari takdir hidupnya. James juga menerima teori evolusi Darwin yang mana mempertajam masalah depresinya. Menurut pandangan Darwin, ada variasi, seleksi alam, dan pertahanan hidup yang terbaik; sehingga tidak ada kebebasan, harapan, maupun pilihan.

                Titik balik James dimulai setelah ia membaca esai Charles-Bernard Renouvier (1815–1903). Depresinya perlahan sembuh, bahkan ia menjadi sangat produktif. Dan disinilah awal mula ia menganut pragmatisme –kepercayaan bahwa “If an idea works, it is valid.”

Stream of Consciousness       

            Melalui konsep ‘stream of consciousness’-nya, James menentang orang-orang yang sibuk mencari elemen pikiran. Ada beberapa hal yang James tekankan:

1.       Consciousness is personal;

2.       Consciousness is continuous and cannot be divided up for analysis;

3.       Consciousness is constantly changing;

4.       Consciousness is selective;

5.       Consciousness is functional.

Habits and Instincts

James (1890/1950) percaya bahwa kebanyakan perilaku hewan dan manusia diperintah oleh naluri. Ia tidak percaya bahwa perilaku naluriah itu “blind and invariable”, melainkan dapat dimodifikasi oleh pengalaman. Bahkan ia percaya bahwa pola naluri baru dari perilaku selalu berkembang sepanjang usia. James menyebut pola ini sebagai kebiasaan (habits) –yaitu merupakan aktivitas yang diulang. Kebiasaan ini bersifat fungsional karena dapat menyederhanakan pergerakkan untuk mencapai suatu tujuan, meningkatkan ketepatan tindakan, mengurangi kelelahan, dan mengurangi kebutuhan akan kesadaran dalam melakukan suatu tindakan.

James memberikan 5 anjuran untuk mengembangkan kebiasaan baik dan mengurangi yang buruk:

1.       Tempatkan diri dalam kondisi yang menggiatkan kebiasaan baik dan menyusutkan kebiasaan buruk.

2.       Jangan mengizinkan diri sendiri untuk berbalik dari kebiasaan baik yang sedang ditekuni untuk dikembangkan.

3.       Jangan mencoba untuk memperlambat perkembangan kebiasaan baik, atau menghambat penghilangan kebiasaan buruk.

4.       Dalam melaksanakan kebiasaan baik dan menghindari kebiasaan buruk, maksud dan tujuan bukanlah hal yang penting disini; melainkan apa yang kita lakukan.

5.       Paksa diri untuk melakukan tindakan atau perilaku yang bermanfaat walaupun awalnya tidak menyenangkan dan membutuhkan banyak pertimbangan.

Seluruh anjuran ini berpusat pada sebuah prinsip fundamental, yaitu “Act in ways that are compatible with the type of person you would like to become.

The Self

James (1892/1985) mendiskusikan apa yang ia sebut sebagai empirical self, atau yang disebut ‘saya’ dalam diri individu, yang mana terdiri atas semua yang dapat disebut sebagai miliknya. Bukan hanya tubuh dan kekuatan tubuhnya, melainkan juga ke pakaiannya, rumahnya, pasangan dan anak-anaknya, dan sebagainya.

James membagi empirical self menjadi 3 komponen:

1.       The material self, yang mana mencakup seluruh material yang dapat disebut sebagai miliknya pribadi, seperti tubuhnya, keluarganya, dan propertinya.

2.       The social self, yaitu gambaran diri yang dikenali dan dibentuk oleh orang lain.

3.       The spiritual self, yang mana mencakup kondisi kesadaran, atau segala sesuatu yang kita pikirkan sebagaimana kita menganggap diri kita sebagai pemikir. Selain itu juga termasuk emosi-emosi yang berhubungan dengan berbagai kondisi kesadaran

 

Hugo Münsterberg (1863–1916)

            Berbeda dengan James yang sangat beroposisi terhadap Wundt, Münsterberg sebelumnya merupakan asisten Wundt. Tugasnya saat itu adalah untuk mempelajari aktivitas voluntary melalui introspeksi.

Münsterberg’s Applied Psychology

Clinical Psychology

                Dalam usahanya untuk memahami penyebab perilaku abnormal, Münsterberg mengamati beberapa orang dengan penyakit mental. Ia memberikan treatment secara gratis dengan tujuan ilmiah kepada para pasien kasus alkoholisme, ketergantungan obat-obatan, fobia, dan disfungsi seksual, namun tidak kepada penderita psikosis. Ia rasa, psikosis diakibatkan oleh kemunduran sistem saraf dan tidak dapat diberi tindakan. Treatment ini dimaksudkan untuk membuat para pasien berusaha membentuk ekspektasi untuk berkembang. Münsterberg juga menggunakan reciprocal antagonism yang memperkuat pikiran agar menentang penyebab-penyebab dari penyakit.

Forensic Psychology

                Münsterberg menunjukkan bahwa testimony dari saksi mata tidak bisa dipercaya karena kesan sensoriknya bisa saja mengalami ilusi, lalu sugesti dan stres dapat mempengaruhi persepsi, serta ingatan juga tidak selalu akurat. Ia yakin bahwa interogasi yang keras dapat menghasilkan pengakuan yang salah. Melalui bukunya –On the Witness Stand (1908), ia memperkenalkan suatu alat yang dapat mendeteksi kebohongan melalui observasi terhadap perubahan detak jantung dan respirasi.

Industrial Psychology

                Topik yang tercakup meliputi metode seleksi pegawai, metode peningkatan efisiensi kerja, serta teknik pemasaran dan pengiklanan. Contohnya, pada seleksi pegawai, ia menyarankan untuk menetapkan kemampuan-kemampuan yang dibutuhkan untuk melakukan suatu tugas, lalu menentukan kemampuan orang yang cocok terhadap tugas-tugas tersebut.

 

Granville Stanley Hall (1844–1924)

President of Clark University

Hall menjadi presiden pertama Universitas Clark di Worcester, Massachusetts. Pada 8 Juli 1892, sebuah rapat yang diadakan oleh Hall bersama dengan psikolog-psikolog paling terkemuka di Amerika Serikat dan Kanada menjadi cikal bakal dari APA. Hall sendiri menjadi presiden pertama APA.

                Pada 1917, Hall mempublikasikan karyanya yang berjudul “Jesus, the Christ, in the Light of Psychology”, dimana ia menggambarkan Yesus sebagai makhluk mitos yang melambangkan seluruh kecenderungan terbaik manusia. Cerita mengenai kematian dan kebangkitan-Nya mewujudkan ritme mendasar atas kehidupan psikis, dari kesakitan menuju kegembiraan; merasakan dan memahami ritme ini dalam perubahan adalah suatu pelajaran tertinggi dalam hidup.

Recapitulation Theory

                Hall merasa bahwa teori evolusi lebih bertindak sebagai model sains daripada psikis; evolusi bukan hanya menjelaskan perkembangan filogenetik (hubungan kekerabatan berdasarkan evolusi) dari spesies manusia (dari Meganthropus ke Pithecanthropus hingga Homo sapiens), namun juga menjelaskan perkembangan dari setiap individu itu sendiri. Ia yakin bahwa tiap individu pada masa hidup mereka masing-masing pasti merasakan kembali seluruh tahap evolusi spesies manusia. Ide ini disebut sebagai Recapitulation Theory.

                “Every child, from the moment of conception to maturity, recapitulates, very rapidly at first, and then more slowly every stage of development through which the human race from its lowest beginnings has passed.” (Hall, 1923, p. 380)

                Pada perkembangan pralahir, suatu organisme bersel satu berkembang menjadi seorang bayi yang kemampuannya setara dengan sejumlah mamalia yang lebih rendah dari manusia pada skala filogenetik. Pada masa kanak-kanak, masih ada bukti-bukti keimpulfisan, kekejaman, dan amoralitas yang mencirikan tahap-tahap kurang beradab dari perkembangan manusia yang sebelumnya. Jika impuls primitif ini tidak diungkapkan pada masa kanak-kanak, maka akan dibawa hingga masa dewasa. Oleh sebab itu, Hall menganjurkan para orang tua dan guru agar dapat menciptakan situasi dimana impuls primitif ini dapat diungkapkan.

                He recommended that children be kept away from school until the age of eight, since formal schooling might harm a young child's development. Young children should roam the countryside to learn the ways of nature or satisfy their instincts in informal settings free from adult standards of proper behaviour. Guided by their own natural impulses, children would pass through the stages of childhood to become self-controlled adults.

Hall’s Magnum Opus

                Melalui bukunya, Adolescence: Its Psychology and Its Relations to Physiology, Anthropology, Sociology, Sex, Crime, Religion and Education, Hall berfokus pada berbagai hal, termasuk norma-norma pertumbuhan, perkembangan bahasa, penyakit-penyakit zaman kanak-kanak, kebersihan, kejahatan remaja, berbohong, pamer dan malu, ketakutan, keingintahuan, dan pertemanan. Terlebih lagi, Hall memberikan penjelasan detail mengenai masa remaja dan masturbasi (Hall menolak pernyataan bahwa masturbasi dapat menyebabkan psikosis atau bahkan kematian; namun Hall yakin bahwa ada beberapa dampak buruk yang timbul dari masturbasi; Hall memberikan tips untuk menghindari kebiasaan buruk ini).

Religious Conversion

                Hall percaya bahwa religious conversion selama masa remaja bersifat natural, normal, universal, dan merupakan proses penting. Menurutnya, dosa bukanlah state of evil, melainkan suatu sense of limitation dan imperfection yang harus dipahami secara psikologis, bukan sekadar melalui dogma agama.

Hall’s Opposition to Coeducation

                Hall menolak sekolah campuran. Menurutnya, menyatukan perempuan dan laki-laki pada satu sekolah yang sama tidaklah masuk akal karena seharusnya perempuan (sebagai inti dari evolusi di masa depan, menurutnya) difokuskan untuk siap menjadi ibu, sedangkan laki-laki masih butuh untuk memuaskan dorongan primitif mereka. Terlebih lagi, pada masa perkembangan, kebiasaan yang dipelajari ketika masa kanak-kanak mulai tersingkirkan, namun kebiasaan dewasa belum dipelajari. Oleh sebab itu, individu akan bergantung pada insting mereka.

 

Tokoh-tokoh Fungsionalis di Universitas Chicago

John Dewey (1859–1952)

                Walaupun yang kita ketahui adalah bahwa Dewey dipengaruhi kuat oleh James, namun Shook (1995) menunjukkan bahwa beberapa ide fungsionalis Dewey berasal dari voluntarisme milik Wundt.

                Dewey berargumen bahwa pembagian elemen-elemen refleks yang berupa proses sensoris, proses otak, dan respon motorik untuk analisis adalah sesuatu yang palsu dan sesat. Ketiga elemen ini harus dipandang sebagai suatu sistem koordinasi dengan tujuan tertentu –yang mana tujuannya berhubungan dengan pertahanan hidup individu. Menurutnya, arus yang membentuk perilaku dan kesadaran berbeda.

                Dewey menekankan bahwa seluruh perilaku dapat dipandang melalui fungsinya, yaitu sebagai bentuk adaptasi terhadap lingkungan sekitar. Dia juga percaya bahwa perubahan sosial tidak dapat dihindari, namun dapat dipengaruhi secara positif oleh perencanaan aksi yang tepat. Dewey bahkan memberikan pengaruh besar pada apa yang kelak disebut sebagai pendidikan progresif di Amerika. Ia yakin bahwa pendidikan seharusnya lebih berorientasi pada murid daripada pada pelajaran, dan menurutnya cara terbaik untuk belajar –yang kelak menjadi kalimat terkenal, yaitu dengan “learn by doing”. Pendidikan, menurutnya, juga harus memfasilitasi kecerdasan dan mempersiapkan anak-anak untuk hidup efektif di tengah masyarakat komplek.

James Rowland Angell (1869–1949)

                Angell membedakan psikologi fungsional dan struktural, dan menetapkan 3 poin penting:

1.       Psikologi fungsional lebih memperhatikan operasi mental dibandingkan elemen kesadaran, namun operasi mental yang terisolasi mendapatkan sedikit perhatian.

2.       Proses mental menengahi kebutuhan organisme dan lingkungan. Oleh sebab itu, fungsi mental membantu organisme bertahan hidup. Kebiasaan perilaku memungkinkan organisme untuk menyesuaikan diri terhadap situasi yang lazim atau dikenal akrab; namun ketika organisme dihadapkan dengan situasi baru, proses mental menyokong proses adaptasi.

3.       Pikiran dan tubuh tidak dapat dipisahkan; mereka bertindak sebagai suatu unit dalam pergumulan organisme dalam bertahan hidup.

Ketika Angell menyuarakan 3 poin tersebut, fungsionalisme menjadi suatu sekolah yang resmi dan berkembang, serta menjadi kompetitor terhadap strukturalisme. Karena kekerabatannya dengan teori evolusi, fungsionalisme tidak hanya mendorong penelitian terhadap kesadaran, namun juga terhadap perilaku hewan, psikologi anak, pembentukan kebiasaan, dan perbedaan individu. Bahkan dengan orientasi pragmatis yang kuat, fungsionalisme juga mendorong prinsip-prinsip psikologi untuk diaplikasikan ke dalam pendidikan, bisnis, dan psikologi klinis.

Harvey Carr (1873–1954)

                Menurut Carr, para fungsionalis berfokus pada proses pembelajaran karena belajar adalah kunci utama dalam penyesuaian diri terhadap lingkungan. Pusat dari psikologi Carr adalah adaptive act, yang terdiri atas 3 komponen: 1) sebuah motif yang merangsang perilaku –seperti rasa lapar dan rasa haus, 2) kondisi lingkungan atau situasi dimana organisme berada, dan 3) tanggapan yang memuaskan motif –seperti makan dan minum. Dan proses belajar yang terbentuk adalah ketika organisme berhasil menemukan cara untuk memuaskan motifnya, sehingga ia akan mengulangi hal yang sama ketika motif tersebut muncul kembali –dengan lebih efektif dan efisien dibandingkan yang sebelumnya. Bagi Carr, persepsi dan perilaku sangat penting dalam beradaptasi terhadap lingkungan karena itu menentukan pandangan terhadap lingkungan atau apa yang ditangkap/dirasakan dari lingkungan, serta menentukan bagaimana tanggapan yang harus diberikan. Contohnya, reaksi kita ketika melihat hewan liar di kebun binatang akan berbeda dengan melihat hewan liar di hutan.

                Selain adaptive act, Carr juga mencakup pembahasan mengenai bagian-bagian dalam sistem saraf dan alat indera, pembelajaran, pemahaman (terlebih terhadap ruang), penalaran, afeksi, kehendak, perbedaan individu, dan pengukuran kecerdasan.

 

Tokoh-tokoh Fungsionalis di Universitas Kolombia

James McKeen Cattell (1860–1944)

                Cattell melakukan banyak penelitian pada bidang waktu reaksi, psikofisika, dan pengujian mental. Ia setuju dengan Galton bahwa kepintaran dapat diukur dengan mempelajari kemampuan-kemampuan sensorik dan motorik; dan bahwa pengetahuan dan metode harus selalu dievaluasi sesuai dengan kegunaan mereka.

“All our systems of education, our churches, our legal systems, our governments and the rest are applied psychology.” (1904, p. 186) Cattel yakin bahwa psikologi mempengaruhi segala tindakan, dimana setiap orang menerapkan prinsip-prinsip psikologis ke dalam setiap kegiatan mereka. Ini bukan tentang apakah tingkah laku harus dikontrol atau tidak, melainkan tentang penggunaan pengetahuan yang terpercaya dari prinsip-prinsip psikologis dalam menjalankan kontrol tersebut. Disini ia menunjukkan bahwa yang terpenting dari fungsionalisme adalah mempelajari fungsi tingkah laku beserta hubungannya dengan tingkah laku lain.

Robert Sessions Woodworth (1869– 1962)

                Woodworth tertarik dengan apa dan terlebih mengapa seseorang melakukan sesuatu. Fokus utamanya adalah motivasi, sehingga ia menamakan brand of psychology-nya dengan sebutan dynamic psychology. Seperti Dewey, Woodworth tidak setuju dengan orang-orang yang berkata bahwa penyesuaian diri terhadap lingkungan adalah persoalan tentang rangsangan, proses otak, dan respons. Woodworth menggunakan S-O-R (stimulus-organism-response) dan konsep adaptive act –yang merujuk pada cara organisme berinteraksi dengan lingkungannya dengan maksud memuaskan kebutuhan. Adaptive act selalu bersifat tidak aktif, kecuali diaktivasi oleh suatu kebutuhan atau dorongan. Dengan demikian, dalam suatu lingkungan fisik yang sama, organisme dapat bertingkah berbeda tergantung pada apa yang mereka butuhkan atau apa yang mendorong mereka. Kondisi internal mereka mengaktivasi perilaku mereka.

Edward Lee Thorndike (1874–1949)

                Melalui karyanya, Your City (1939), Thorndike menyatakan bahwa kepintaran sangat mungkin diwariskan; dan pengalaman edukatif harus dibuat menjadi tingkat-tingkatan berdasarkan kemampuan intelektual alamiah murid.

                Konsepnya yang berjudul The Law of Use & The Law of Disuse menyatakan "we learn by doing and forget by not doing". Selanjutnya, konsepnya yang berjudul The Law of Effect menyatakan bahwa jika suatu asosiasi diiringi dengan “satisfying state of affairs” maka akan bertambah kuat, sedangkan jika diiringi dengan “annoying state of affairs” maka akan melemah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perkembangan Awal dalam Fisiologi dan Tumbuhnya Psikologi Eksperimen

  Fisiologi sendiri merupakan cabang ilmu yang berfokus pada fungsi-fungsi bagian tubuh manusia. Namun pada awal perkembangannya, fisiologi ini lebih berfokus pada sensasi dan persepsi, serta kaitannya dengan sistem saraf dan alat indera. Ini bermula dari perbedaan catatan tentang waktu perlintasan suatu bintang antara milik Nevil Maskelyne dan milik asistennya -David Kinnebrook. Lalu sekitar 20 tahun setelahnya, Friedrich Bessel (1784-1846) -seorang astronom Jerman menyadari bahwa kesalahan ini bukan terjadi akibat ketidakcakapan dalam mengukur, melainkan karena adanya perbedaan yang tidak disengaja antara para pengamat. Inilah yang kemudian disebut sebagai discrepancy.   Discrepancy between Objective and Subjective Reality                 Sebelumnya, discrepancy ini secara tidak langsung sudah dibahas oleh Galileo dan Locke melalui teori mereka mengenai primary and secondary qualities. Kemudia...

Perspektif Biologi

            Sistem saraf adalah suatu susunan kompleks sel-sel yang membawa informasi ke dan dari seluruh bagian tubuh. Cabang ilmu yang mempelajari sistem saraf ini adalah neurosains. Sedangkan psikologi biologis atau neurosains behavior merupakan cabang neurosains yang lebih fokus pada dasar-dasar biologis dalam proses-proses psikologis, tingkah laku, dan pembelajaran. A. Neuron dan Saraf             Neuron adalah sel khusus yang ada pada sistem saraf yang bertugas untuk menerima dan mengirimkan sinyal. Neuron memiliki beberapa bagian, yaitu: 1)       Badan sel ( soma cell ) yang berfungsi untuk mempertahankan keberlangsungan sel dan neuron (Cicarelli & White, 2017). Badan sel tersusun atas: a)       Satu nukleus tunggal, nukleolus yang menonjol dan organel lain, seperti badan golgi dan mitokondria. b)  ...

Psikologi Gestalt dan Kognitif

 Gestalt Psychology Antecedents of Gestalt Psychology Psikologi Gestalt (Jerman: ‘keseluruhan’) lahir hampir bersamaan dengan kemunculan behaviorisme. Psikologi Gestalt ini menolak program eksperimen Wundt yang melakukan pencarian tentang elemen-elemen kesadaran. Berbeda dengan para behavioris yang berfokus menyerang studi tentang kesadaran asosiasi metode introspeksi, psikologi Gestalt lebih berfokus pada elementisme Wundt. Menurut mereka, kesadaran tidak dapat direduksi ke dalam elemen-elemen tanpa mengurangi makna asli dari pengalaman kesadaran. Bagi mereka, investigasi mengenai pengalaman kesadaran melalui metode introspeksi adalah bagian esensial dari psikologi, namun tipe pengalaman kesadaran yang diinvestigasi oleh Wundt dan para struktualis U.S. adalah tiruan. Mereka yakin bahwa apapun yang kita alami/rasakan tidak hanya pada potongan-potongan tertentu saja, melainkan pada konfigurasi yang utuh dan penuh makna. Kita bukan melihat potongan-potongan warna, melainkan kita meli...