Langsung ke konten utama

Perkembangan Awal Psikologi Modern

 

Psikologi modern diawali dengan pemisahannya psikologi dari ilmu filsafat dan fisiologi.

Sebelumnya, kita tahu bahwa Helmholtz, Weber, dan Fechner merupakan pelopor dalam psikologi ekperimen. Namun, Wilhelm Wundt lah yang meraih berbagai pencapaian dari tokoh-tokoh tersebut serta tokoh-tokoh lainnya, kemudian mempersatukannya ke dalam suatu program yang utuh dalam penelitian yang diatur dalam berbagai kepercayaan, prosedur, dan metode tertentu.

Pada awal 1862, Wundt menunjukkan suatu eksperimen yang menuntun ia untuk percaya bahwa disiplin psikologi eksperimen yang sepenuhnya matang bukanlah hal yang mustahil. Wundt kemudian menunjukkan bahwa butuh 1/10 detik untuk transisi fokus. Dari eksperimen awal ini, Wundt tidak hanya menyimpulkan bahwa psikologi eksperimen layak dilaksanakan tapi juga bahwa psikologi harus menitikberatkan perhatian khusus, atau kehendak khusus.

Dalam bukunya –Contributions to the Theory of Sense Perception (1862a), Wundt memberitakan kebutuhan akan bidang baru dalam psikologi eksperimen yang dapat membongkar fakta-fakta mengenai kesadaran manusia. Lalu, pada bukunya yang berjudul Principles of Physiological Psychology (1874/1904), Wundt dengan jelas menyatakan tujuannya adalah untuk membentuk bidang tersebut. Pada zaman Wundt, istilah physiological kurang lebih bermakna sama dengan experimental. Dengan demikian, “physiological psychology” dalam bukunya lebih tepat bermakna “experimental psychology” daripada menganggapnya sebagai suatu bidang yang berfokus mengkaji hubungan biologis dengan pikiran dan perilaku.

Impian Wundt terwujud pada 1890 dengan didirikannya sekolah psikologi pertama. ‘Sekolah’ disini adalah suatu grup/kelompok orang yang berbagi asumsi-asumsi yang sama, bekerja dalam permasalahan yang sama, dan menggunakan metode yang sama. Istilah ‘sekolah’ ini sangat mirip dengan istilah ‘paradigma’ milik Kuhn.

 

Voluntarism

                Voluntarisme inilah yang menjadi sekolah psikologi pertama (bukan strukturalisme yang merupakan sekolah saingan terhadap voluntarisme, yang didirikan oleh Edward Titchener).

                Wundt menolak materialisme: “Materialistic psychology … is contradicted by … the fact of consciousness itself, which cannot possibly be derived from any physical qualities of material molecules or atoms…” (1912/1973, p. 155). Ia juga menolak empirisme dari para filsuf Inggris dan Perancis yang menganggap manusia secara pasif menerima sensasi-sensasi yang kemudian secara pasif diatur oleh laws of association. Menurutnya, ada central volitional processes yang berperan dalam elemen-elemen pikiran dalam memberikan bentuk/wujud, kuliatas, atau nilai yang tidak dapat ditemukan baik pada stimulasi eksternal maupun pada peristiwa mental itu sendiri.

                Tujuan Wundt bukan hanya untuk memahami kesadaran yang dialami, melainkan juga untuk memahami hukum mental yang mengatur dinamika kesadaran. Secara penuh, yang terpenting menurut Wundt adalah konsep will yang direfleksikan dalam attention dan volition, dimana manusia dapat menentukan “what is attended to” dan “what is perceived clearly”. Ia percaya bahwa banyak perilaku dan perhatian selektif yang ditujukan terhadap suatu tujuan; yang mana berawal dari motivasi. Istilah ‘voluntarisme’ inilah yang digunakan Wundt dalam psikologi karena menekankan pada will (keinginan), choice (pilihan), dan purpose (tujuan).

 

Wilhelm Maximilian Wundt (1832–1920)

            Psychology’s Goals

            Wundt tidak setuju dengan Galileo, Comte, dan Kant yang mengklaim bahwa psikologi tidak akan pernah menjadi suatu cabang ilmu; dan dia tidak setuju dengan Herbart yang menganggap bahwa psikologi dapat menjadi ilmu yang matematis, namun bukan ilmu eksperimen. Wundt percaya bahwa eksperimentasi dapat digunakan untuk mempelajari proses-proses dasar dari pikiran, namun tidak dapat digunakan untuk mempelajari proses-proses mental yang lebih tinggi –seperti penalaran, pemakaian bahasa, kreativitas, dan sebagainya. Untuk selanjutnya, hanya beberapa bentuk observasi alamiah yang dapat dilakukan. Secara ringkas, menurut Wundt, tujuan dari psikologi adalah untuk memahami fenomena kesadaran –baik yang sederhana maupun kompleks. Awalnya, ekperimen dapat digunakan, namun selanjutnya tidak.

                Mediate and Immediate Experience

            Wundt percaya bahwa semua ilmu didasarkan pada experience, termasuk psikologi saintis. Namun, tipe experience yang digunakan psikologi berbeda dengan ilmu lainnya. Psikologi didasarkan pada immediate experience (pengamatan sensorik secara langsung), sedangkan ilmu-ilmu lain didasarkan pada mediate experience (menggunakan alat ukur).

                Melalui psikologi eksperimen ini, ada 2 tujuan utama yang disusun Wundt, yaitu:

                1. To discover the basic elements of thought,

2. To discover the laws by which mental elements combine into more complex mental experiences.

Wundt’s Use of Introspection

            Untuk mempelajari proses mental dasar yang terlibat di immediate experience, Wundt menggunakan berbagai metode –termasuk introspeksi (yang sedikit mirip dengan teknik St. Augustine dalam mencari esensi tentnag Tuhan, atau dengan teknik Descartes dalam mencari kebenaran tertentu).  Namun, introspeksi ini tidak dapat digunakan untuk mempelajari proses mental yang lebih tinggi.

                Wundt juga membedakan antara pure introspection (relatively unstructured self-observation) dan experimental introspection (which he believed to be scientifically respectable).

                Elements of Thought

                Menurut Wundt, ada dua tipe pengalaman mental mendasar, yaitu sensasi dan perasaan. Sensasi terjadi setiap kali organ indera dirangsang dan impuls yang dihasilkan mencapai otak. Sensasi ini dapat digambarkan dalam modality (visual, auditori, rasa, dsb.) dan intensity (seberapa kerasnya rangsangan). Dengan modality, sensasi kemudian dapat dianalisis untuk ditentukan kualitasnya. Contohnya, a visual sensation can be described in terms of hue (color) and saturation (“richness” of color). An auditory sensation can be described in terms of pitch and timbre (“fullness” of tone). A taste sensation can be described in terms of its degree of saltiness, sourness, bitterness, or sweetness.

Semua sensasi disertai dengan perasaan. Ini Wundt dapatkan ketika ia sadar bahwa ada beberapa kecepatan ketukan metronom yang lebih enak didengar. Ia kemudian merumuskan tridimensional theory of feeling, dimana perasaan dapat dideskripsikan dalam derajat pleasantness-unpleasantness, excitement-calm, dan strain-relaxation.

Perception, Apperception, and Creative Synthesis

                Menurut Wundt, persepsi adalah proses pasif yang dipengaruhi oleh tampilan rangsangan fisik, riasan anatomis, dan pengalaman masa lalu. Berbeda dengan persepsi –yang pasif dan otomatis, apersepsi bersifat aktif, sukarela, dan berada di bawah kontrol diri.

                Creative synthesis adalah suatu fenomena dimana terjadi kombinasi atas beberapa ideas, images, atau association menjadi suatu kesatuan baru yang secara fundamental berbeda dengan komponen-komponennya.

                Bagi Wundt, pikiran bersifat aktif, kreatif, dinamis, dan berdasarkan pada kemauan. Dan ia percaya bahwa jika seseorang kehilangan kemampuan dalam apperceiving, maka pikirannya akan berantakan sehingga tidak bermakna, sebagaimana kasus skizofrenia.

Psychological Versus Physical Causation

                Menurut Wundt, psychological causality dan physical causality adalah “polar opposites” karena physical events dapat diprediksi berdasarkan kondisi sebelumnya –sedangkan psychological events tidak. Selain itu, alasan mengapa psychological events tidak bisa diprediksi adalah karena adanya principle of the heterogony of ends. Menurut prinsip ini, aktivitas yang diarahkan terhadap suatu tujuan jarang mencapai tujuan itu sendiri. Sesuatu di luar ekspektasi hampir selalu terjadi, sehingga kerap mengubah seluruh motivasi. Wundt juga menggunakan principle of contrasts untuk menjelaksan kompleksitas dari psychological experience. Menurutnya, ‘opposite experiences intensify one another’. Contoh, setelah kita memakan makanan yang masam, sesuatu yang manis akan terasa lebih manis. Atau, setelah kita mengalami kejadian yang menyakitkan, kenikmatan akan terasa lebih nikmat. Prinsip lainnya yang berhubungan –yaitu principle toward the development of opposites, menyatakan bahwa setelah pengalaman berkepanjangan, akan ada peningkatan kecenderungan untuk mencari pengalaman yang berlawanan.

Volitional Acts Are Creative but Not Free

Wundt tidak percaya dengan free will. Menurutnya, “volitional acts are lawful but that the laws governing such acts could not be investigated experimentally”. Volitional acts hanya dapat dipelajari setelah outcomesnya.

 

 

Völkerpsychologie

Disini, Wundt menunjukkan bagaimana teknik selanjutnya yang digunakan untuk mempelajari topik seputar norma sosial, agama, mitos, moral, seni, hukum, dan bahasa. Dalam analisisnya mengenai bahasa, Wundt berasumsi bahwa komunikasi dimulai ketika seseorang membentuk suatu kesan umum. Setelahnya, orang tersebut akan memilih kata-kata untuk mengekpresikan kesan tersebut. Akhirnya, kata-kata yang keluar dapat mengungkapkan kesan tersebut sehingga pendengarnya akan menangkap maksudnya. Disinilah komunikasi itu terlaksana dengan sukses.

 


Edward Bradford Titchener (1867–1927)

Titchener mendirikan sekolah strukturalisme di Universitas Cornell. Tujuannya adalah untuk mempelajari ‘apa’, ‘bagaimana’, dan ‘mengapa’ dari kehidupan mental. ‘apa’ disini menentukan elemen-elemen dasar dari mental, ‘bagaimana’ menentukan bagaimana elemen-elemen tersebut terkombinasi, dan ‘mengapa’ menentukan korelasi neurologis dalam peristiwa-peristiwa mental.

Menurut Titchener, sensasi dan gambaran dapat bervariasi dalam aspek kualitas, intensitas, durasi, kejelasan, dan ekstensi. Dia menemukan bukti untuk lebih dari 40.000 elemen mental yang terpisah. Titchener berpikir bahwa semua perasaan bervariasi hanya pada dimensi pleasantness-unpleasantness.

Mengikuti tradisi empiris-asosiasionis, ia berpendapat bahwa atensi hanyalah suatu sensasi yang jelas. Menurut teorinya –yaitu context theory of meaning, sensasi selalu merangsang ingatan dari peristiwa yang sebelumnya dialami bersamaan dengan sensasi-sensasi tersebut, dan ingatan-ingatan ini kemudian memberikan makna pada sensasi-sensasi yang dirasakan.

Ada sejumah perbedaan penting antara voluntarisme milik Wundt dan strukturalisme milik Titchener. Banyak faktor yang menjatuhkan strukturalisme: contohnya adalah unreliability of introspection; the observation that introspection was really retrospection; dan the ignoring of psychological development, abnormal be[1]havior, personality, learning, individual differences, evolutionary theory, and practicality.



Sumbangan pandangan alternatif terhadap voluntarisme dan strukturalisme mencakup Brentano, Stumpf, Husserl, Külpe, Vaihinger, dan Ebbinghaus.

 

Franz Clemens Brentano (1838–1917)

Brentano menciptakan karya yang berjudul Psychology from an Empirical Standpoint (1874/1973), bersamaan dengan penerbitan buku Principles of Physiological Psychology oleh Wundt.

Brentano setuju dengan Wundt tentang keterbatasan dalam psikologi eksperimen, dimana ia yakin bahwa overemphasizing experimentation (manipulasi sistematik terhadap sebuah variabel, lalu mencatat pengaruhnya terhadap variabel lainnya) dapat mengalihkan pandangan penelitinya dari isu-isu yang sebenarnya penting.

Brentano tidak setuju dengan pendapat Titchener tentang pentingnya mengetahui mekanisme fisiologi di balik peristiwa-peristiwa mental. Menurutnya, hal penting tentang pikiran bukanlah apa yang ada di dalamnya, melainkan apa yang telah dilakukannya. Dalam kata lain, ia merasa bahwa studi yang tepat tentang pikiran harus menekankan proses-proses dari pikiran itu daripada komponennya.

Pandangan Brentano kemudian disebut sebagai act psychology karena kepercayaannya bahwa “Mental processes are aimed at performing some function.” Tindakan-tindakan mental tersebut termasuk judging, recalling, expecting, inferring, doubting, loving, hating, dan hoping. Selain itu, setiap tindakan mental merujuk pada suatu objek di luar dirinya sendiri. For example, something is judged, recalled, expected, loved, hated, and so forth. Brentano menggunakan istilah “intentionality” (yang mana menjadi cikal bakal aliran intentionalism) untuk mendeskripsikan fakta bahwa suatu tindakan mental selalu ditujukan pada sesuatu di luar dirinya. Selain itu, Brentano dengan jelas membedakan antara “seeing the color red” dan “the color red that is seen”. Melihat adalah tindakan mental, yang mana dalam kasus ini terdapat objek berwarna merah. Tindakan dan objek adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan; setiap tindakan mental merujuk kepada suatu objek atau peristiwa yang mana menjadi konten dari tindakan tersebut.

 

Carl Stumpf (1848–1936)

Stumpf mendirikan sebuah laboratorium psikologi di Berlin (kemudian menjadi sebuah institut psikologi) yang menjadi kompetitor besar bagi laboratorium Wundt di Leipzig. Ia merupakan seorang psikolog eksperimen dan tertarik pada acoustical perception hingga menerbitkan karya yang berjudul Psychology of Tone (1883, 1890). Ia juga memusatkan perhatiannya terhadap psikologi emosi dan persepsi, teori ilmiah, metode riset, dan teori evolusi.

Stumpf percaya bahwa ada hubungan mendalam antara psikologi dan filsafat, sehingga ia sebisa mungkin mendirikan komunitas yang menerima idenya itu. Seperti Brentano, menurut Stumpf, kejadian mental harus dipelajari sebagai unit-unit yang bermakna, sebagaimana mereka terjadi pada seorang individu, dan tidak bisa dirusak untuk analisis lebih jauh. Dalam kata lain, baginya, objek penelitian yang pantas dalam psikologi adalah fenomena mental, bukan elemen-elemen kesadaran. Pendiriannya ini kemudian mengantarkannya kepada fenomologi yang kemudian menjadi landasan dari psikologi Gestalt kelak.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perkembangan Awal dalam Fisiologi dan Tumbuhnya Psikologi Eksperimen

  Fisiologi sendiri merupakan cabang ilmu yang berfokus pada fungsi-fungsi bagian tubuh manusia. Namun pada awal perkembangannya, fisiologi ini lebih berfokus pada sensasi dan persepsi, serta kaitannya dengan sistem saraf dan alat indera. Ini bermula dari perbedaan catatan tentang waktu perlintasan suatu bintang antara milik Nevil Maskelyne dan milik asistennya -David Kinnebrook. Lalu sekitar 20 tahun setelahnya, Friedrich Bessel (1784-1846) -seorang astronom Jerman menyadari bahwa kesalahan ini bukan terjadi akibat ketidakcakapan dalam mengukur, melainkan karena adanya perbedaan yang tidak disengaja antara para pengamat. Inilah yang kemudian disebut sebagai discrepancy.   Discrepancy between Objective and Subjective Reality                 Sebelumnya, discrepancy ini secara tidak langsung sudah dibahas oleh Galileo dan Locke melalui teori mereka mengenai primary and secondary qualities. Kemudia...

Perspektif Biologi

            Sistem saraf adalah suatu susunan kompleks sel-sel yang membawa informasi ke dan dari seluruh bagian tubuh. Cabang ilmu yang mempelajari sistem saraf ini adalah neurosains. Sedangkan psikologi biologis atau neurosains behavior merupakan cabang neurosains yang lebih fokus pada dasar-dasar biologis dalam proses-proses psikologis, tingkah laku, dan pembelajaran. A. Neuron dan Saraf             Neuron adalah sel khusus yang ada pada sistem saraf yang bertugas untuk menerima dan mengirimkan sinyal. Neuron memiliki beberapa bagian, yaitu: 1)       Badan sel ( soma cell ) yang berfungsi untuk mempertahankan keberlangsungan sel dan neuron (Cicarelli & White, 2017). Badan sel tersusun atas: a)       Satu nukleus tunggal, nukleolus yang menonjol dan organel lain, seperti badan golgi dan mitokondria. b)  ...

Psikologi Gestalt dan Kognitif

 Gestalt Psychology Antecedents of Gestalt Psychology Psikologi Gestalt (Jerman: ‘keseluruhan’) lahir hampir bersamaan dengan kemunculan behaviorisme. Psikologi Gestalt ini menolak program eksperimen Wundt yang melakukan pencarian tentang elemen-elemen kesadaran. Berbeda dengan para behavioris yang berfokus menyerang studi tentang kesadaran asosiasi metode introspeksi, psikologi Gestalt lebih berfokus pada elementisme Wundt. Menurut mereka, kesadaran tidak dapat direduksi ke dalam elemen-elemen tanpa mengurangi makna asli dari pengalaman kesadaran. Bagi mereka, investigasi mengenai pengalaman kesadaran melalui metode introspeksi adalah bagian esensial dari psikologi, namun tipe pengalaman kesadaran yang diinvestigasi oleh Wundt dan para struktualis U.S. adalah tiruan. Mereka yakin bahwa apapun yang kita alami/rasakan tidak hanya pada potongan-potongan tertentu saja, melainkan pada konfigurasi yang utuh dan penuh makna. Kita bukan melihat potongan-potongan warna, melainkan kita meli...