William
McDougall (1871–1938)
Lahir di
Inggris; menempuh pendidikan di Jerman; lalu pindah ke U.S. – Duke University in North Carolina dan
menetap hingga akhir hayat. Karyanya sepanjang hidup berupa 24 buku dan lebih
dari 160 artikel.
8 tahun setelah
kepindahannya ke U.S., McDougall tetap merasa tidak menyatu dengan
lingkungannya dan disalahpahami oleh orang sekitarnya. Murid-murid, rekan
kerja, bahkan media tidak menyukainya. Ada beberapa alasannya, yaitu:
1.
Ia berusaha mempromosikan
psikologi untuk menekankan naluri ketika psikologi U.S. sedang menganut
anti-naluri;
2. Ia tetap berusaha untuk menguji
teori Lamarck mengenai acquired
characteristics walaupun teori tersebut sudah lama disingkirkan;
3.
Keinginannya untuk menciptakan
suatu keyakinan bahwa perilaku disebabkan oleh dorongan atau energi non-fisik;
4.
Keinginannya untuk
mengeksplorasi fenomena paranormal, seperti telepati mental dan clairvoyance;
5.
Fakta bahwa ia memiliki pugnacious personality.
McDougall’s
Definition of Psychology
McDougall
menjadi salah satu orang pertama yang mendefinisikan psikologi sebagai ilmu
perilaku. Menurutnya (1905), “Psychology
may be best and most comprehensively defined as the positive science of the
conduct of living creatures.”
Melalui bukunya –An
Introduction to Social Psychology (1908), ia menyampaikan bahwa seorang
psikolog harus berhenti puas dengan konsep ilmu mereka sebagai ilmu kesadaran yang
mana bersifat kosong dan sempit, serta harus dengan tegas menyatakan bahwa ilmu
tersebut adalah ilmu positif mengenai pikiran dalam seluruh aspek dan
fungsinya, atau ilmu positif tentang perilaku.
Namun, berbeda dengan Watson, McDougall tidak menyangkal pentingnya
peristiwa mental. Menurutnya, itu dapat dipelajari dengan mengobservasi
pengaruhnya terhadap perilaku.
Purposive Behaviour
Tipe perilaku yang dipelajari oleh McDougall cukup berbeda dengan
perilaku refleksif yang dipelajari oleh para ahli dari Rusia –terutama oleh
Watson. Perilaku purposif:
1.
Bersifat spontan –yang mana
tidak ditimbulkan oleh rangsangan yang dikenali;
2.
Bertahan relatif lama walaupun
di tengah ketiadaan rangsangan dari lingkungan;
3. Bervariasi: walaupun tujuannya tetap
konstan, namun perilaku yang dapat diterapkan untuk mencapai tujuan tersebut
dapat bervariasi, dan akan ada alternatif jika di tengah jalan terdapat
halangan;
4.
Akan berakhir jika tujuan
tercapai;
5.
Akan menjadi lebih efektif jika
dilatih, dan aspek-aspeknya yang tidak penting akan dihilangkan secara
bertahap.
The
Importance of Instincts
Perilaku, bagi McDougall, berorientasi pada tujuan, serta lebih
dirangsang oleh motif naluriah daripada oleh lingkungan. McDougall (1908)
mendefinisikan naluri sebagai warisan atau watak psikofisik bawaan yang
menentukan pemiliknya untuk memahami dan memperhatikan objek dari golongan
tertentu, untuk merasakan kegembiraan emosional dari kualitas tertentu ketika mengamati
suatu benda, dan bertindak dengan cara tertentu, atau setidaknya untuk merasakan
suatu dorongan untuk melakukan tindakan tersebut.
Menurut McDougall, semua organisme, termasuk manusia, yang lahir
dengan sejumlah naluri yang memberikan motivasi untuk bertindak dengan cara
tertentu. Setiap naluri memiliki tiga komponen:
1. Persepsi. Ketika sebuah naluri aktif,
seseorang akan menuruti rangsangan untuk memenuhi kepuasannya. Misalnya,
seseorang yang lapar akan menghampiri hal-hal yang berhubungan dengan makanan
di sekelilingnya.
2. Perilaku. Ketika naluri aktif, seseorang
cenderung akan melakukan hal-hal yang membawanya menuju kepuasan. Maka,
seseorang akan terikat pada suatu tujuan atau perilaku purposif sampai kepuasan
itu tercapai.
3. Emosi. Ketika naluri aktif, seseorang
akan merespon dengan emosi yang sesuai dengan hal-hal lingkungan yang
berhubungan dengan kepuasan atau kegagalan dalam memuaskan nalurinya. Contoh
ketika lapar, seseorang akan menanggapi makanan atau apapun yang berhubungan
dengan makanan (seperti bau atau makanan) dengan emosi positif (seperti rasa
bahagia), namun akan merespon dengan emosi negatif (seperti rasa sedih) ketika ada
peristiwa-peristiwa yang menghalangi kepuasannya (seperti tidak memiliki uang).
|
Instinct |
Emotion Accompanying the Instinct |
|
Escape |
Fear |
|
Combat |
Anger |
|
Repulsion |
Disgust |
|
Parental (protective) |
Love and tenderness |
|
Appeal (for help) |
Distress, feeling of
helplessness |
|
Mating |
Lust |
|
Curiosity |
Feeling of mystery, of
strangeness, of the unknown |
|
Submission |
Feeling of subjection,
inferiority, devotion, humility; negative self-feeling |
|
Assertion |
Feeling of elation, superiority,
masterfulness, pride; positive self-feeling |
|
Gregariousness |
Feeling of loneliness, isolation,
nostalgia |
|
Food-seeking |
Appetite or craving |
|
Hoarding |
Feeling of ownership |
|
Construction |
Feeling of creativeness, of
making, or productivity |
|
Laughter |
Amusement, carelessness,
relaxation |
The Battle
of Behaviourism
McDougall dengan Watson saling beradu argumen. McDougall berdiri
dengan argumen bahwa naluri adalah motivasi terbesar atas perilaku seluruh
animalia, termasuk manusia. Menurutnya juga, kebiasaan berpikir dan berperilaku
terbentuk karena berhasil memuaskan naluri. Di sisi lain, Watson berdiri dengan
pandangan bahwa naluri tidak ada pada tingkat animalia dan bahwa psikologi yang
seharusnya menghapuskan istilah ‘naluri’ itu sendiri. McDougall juga percaya
bahwa reinforcement in the form of need
reduction adalah aspek terpenting dalam proses belajar. Ia membantah Watson
yang sebelumnya menolak pentingnya reinforcement
dalam proses belajar, dimana pembelajaran dapat dijelaskan melalui
prinsip-prinsip asosiatif yaitu keterhubungan, keterseringan, dan keterbaruan.
Neobehaviorism
Edward Chace Tolman (1886–1959)
Purposive
Behaviourism
Sekitar
tahun 1920, ada dua penjelasan dominan mengenai proses belajar: milik Watson
yang berkaitan dengan prinsip asosiasi antara contiguity and frequency, dan milik Thorndike yang menekankan the law of effect.
Tolman setuju bahwa frequency and recency menjadi penentu
penting dalam proses pembelajaran. Ia menolak the law of effect, namun juga menolak gagasan Watson yang terlalu
sederhana mengenai stimulus and response.
Tolman merujuk psikologi Watson
sebagai “twitchism” karena ia merasa
bahwa itu terpusat pada isolated
responses terhadap rangsangan spesifik. Tolman setuju dengan pendapat
Watson bahwa perilaku harus menjadi kajian dalam psikologi, namun Tolman yakin
bahwa Watson berfokus pada tipe perilaku yang salah.
Kemudian, di Harvard Tolman belajar bahwa aspek purposif dari
tingkah laku dapat dipelajari tanpa mengorbankan objektivitas ilmiah. Ini
dilakukan dengan melihat tujuan ‘dalam’ tingkah laku itu sendiri dan bukan
menyimpulkan tujuan ‘dari’ tingkah laku tersebut. Ia kemudian menggunakan
‘tujuan’ dan ‘kognisi’ lebih banyak ketika menyesuaikan dengan tradisi
mentalistis sebagai penentu perilaku yang sebenarnya.
Tolman menyebut perilaku
purposif dengan ‘perilaku molar’ agar kontras dengan perilaku molekular. Dalam
karyanya, Purposive Behavior in Animals
and Men (1932), contoh perilaku purposif (molar) yaitu seperti tikus yang
menjelajahi labirin, seseorang yang pulang ke rumah untuk makan malam, anak
kecil yang bersembunyi dari orang tak dikenal, dan sebagainya. Dan perlu
dicatat bahwa tidak ada satupun yang tahu otot, kelenjar, saraf sensorik, dan
saraf motorik apa yang terlibat disini. Karena, respons-respons tersebut
sedemikian rupa memiliki perlengkapannya sendiri untuk mengidentifikasi rangsangan
yang diterima.
Berdasarkan penelitiannya
menggunakan tikus, ia menemukan bahwa apapun yang penting dalam psikologi dapat
diselidiki secara esensial melalui penelitian lanjutan dan analisis teoritis
dari penentu-penentu perilaku tikus dalam labirin.
The Use of
Intervening Variables
Pada
tahun 1925, Tolman merujuk tujuan dan kognisi sebagai penjelasan dan penentu dari
perilaku. Kemudian di tahun 1928, Tolman menunjukkan keyakinannya bahwa
tujuan-tujuan itu sudah ada di dalam organisme dan dengan begitu saja berkaitan
dengan perilakunya. Perilaku tidak diperintah oleh sebuah koneksi sederhana
antara rangsangan dengan respons, melainkan oleh banyak atau sedikitnya
kumpulan pola pengaturan yang telah terbentuk dalam suatu organisme. Dan sejauh
ini, kumpulan-kumpulan pengaturan ini hanya mengakibatkan tindakan-tindakan
tersebut untuk mempertahankan atau untuk mempelajari apa yang membawa organisme
menuju (atau dari) tujuan tertentu.
Setelah itu, Tolman yakin bahwa
proses kognitif benar-benar nyata dan berpengaruh dalam menentukan perilaku. Ia
memberi solusi atas dilema sebelumnya dengan memperlakukan hal-hal kognitif
sebagai variabel penghalang, atau dalam kata lain, variabel yang menghalangi peristiwa
lingkungan dengan tingkah laku. Variabel penghalang yang terpenting menurutnya
adalah kognitif dan mental.
Melalui ini, Tolman membawa
teori ilmiah abstrak ke dalam psikologi. Bagi Tolman, peristiwa lingkungan
menimbulkan hal-hal batin yang tidak dapat diamati yang mana akan membentuk
perilaku.
Clark Leonard Hull (1884-1952)
The Use of
Intervening Variables
Dari
sekian banyak dorongan yang memotivasi karya Hull dalam teori perilaku, minat
abadinya dalam teknologi mesin perlu dicatat. Pada awal tahun di abad ini, Hull
terpengaruh oleh teknologi mesin baru yang dapat menjalankan fungsi-fungsi
kognitif yang belum sempurna pada manusia (contoh: hasil perhitungan aljabar).
Salah satu
contoh pemikirannya dituliskan melalui karyanya yang berjudul “An Electro-Chemical Parallel to the
Conditioned Reflex”. Karya ini menyokong nilai perancangan dan pembentukan
mesin, yang mana mensimulasikan perilaku adaptif sebagai bagian dari program
perilaku untuk menghapus penjelasan-penjelasan mentalistis dari teori perilaku.
Komentar
Posting Komentar