Empirisme
Empirisme adalah sebuah paham yang mementingkan pengalaman sensorik dalam melahirkan suatu pengetahuan. Pengalaman sensorik disini akan menjadi data-data primer yang dikumpulkan, lalu diproses hingga menjadi suatu proposisi (sesuatu yang dapat dianggap benar atau salah) yang valid. Dengan berfokus pada “pengalaman”, para penganut empirisme tidak setuju dengan pernyataan bahwa ‘pengetahuan dapat diturunkan’.
Thomas Hobbes (1588-1679)
Human as Machine
Berteman dengan fisikawan Galileo, Hobbes menyadari bahwa semesta hanya berisikan “materi” dan “gerakan”, yang mana keduanya dapat dipahami dalam prinsip-prinsip mekanisme. Lalu, lahirlah pernyataannya bahwa manusia adalah mesin karena manusia merupakan salah satu bagian dari alam. Perilaku manusia disini bukan digerakkan oleh pikiran atau roh, melainkan oleh pergerakan di saraf.
Human Instincts
Hobbes memiliki pandangan yang cukup negatif terhadap manusia. Menurutnya, secara naluriah, manusia memiliki sifat yang agresif, egois, dan rakus. Ia merasa bahwa harus ada hukum dan aturan yang berlaku untuk ini. Tanpa regulasi, kehidupan manusia dapat menjadi soliter, miskin, menjijikkan, kasar, dan singkat.
Explanations of Motivation
Menurut Hobbes, perilaku manusia dimotivasi oleh appetite (pencarian atau pemeliharaan atas pengalaman-pengalaman yang memuaskan) dan aversion (penghindaran atau penghentian atas pengalaman-pengalaman yang menyakitkan). Dalam kata lain, Hobbes setuju dengan teori hedonistik dalam motivasi.
Hobbes’s Empiricism
Hobbes menolak prinsip dualisme yang mengatakan bahwa manusia terbentuk atas dua unsur, yaitu tubuh dan jiwa. Menurutnya, pemikiran manusia tidak lebih dari pergerakkan-pergerakkan dalam tubuh yang diatur oleh alam. Ia juga menolak bahwa manusia memiliki pemikiran atau pengetahuan bawaan lahir. Dengan kata lain, manusia harus mengumpulkan pengalaman-pengalaman sensorik untuk menciptakan pemikiran atau pengetahuan tersebut.
John Locke (1632–1704)
John Locke memberi pengaruh besar terhadap kehidupan empirisme setelah Hobbes. Dimana ia menolak materialisme yang dimaksud oleh Hobbes. Bagi Locke, rangsangan sensorik bagaimapun juga menimbulkan pemikiran-pemikiran.
Tabula Rasa
Tabula Rasa menunjukkan kondisi pemikiran manusia yang seperti kertas kosong, dimana manusia terlahir tanpa pemikiran atau pengetahuan sama sekali. Oleh sebab itu, pendidikan dan pengalaman sangat penting disini untuk mengisi ‘kertas kosong’ tersebut.
Sensation and Reflection
Menurut Locke, yang disebut idea adalah sebuah gambaran mental yang muncul ketika berpikir: “Apapun yang pikiran persepsikan dalam dirinya sendiri, atau merupakan suatu objek langsung dari persepsi, pemikiran, atau pemahaman, itulah yang kusebut idea.”
Idea, menurut Locke, berasal dari sensasi dan refleksi. Refleksi disini sebagai proses berpikir atas setiap sensasi yang didapatkan. Idea juga terbagi menjadi dua, yaitu simple idea dan complex idea. Simple idea ini didapatkan melalui sensasi yang kita rasakan, sedangkan complex idea hanya bisa didapatkan dengan tambahan refleksi.
Primary and Secondary Qualities
Primary and secondary qualities adalah suatu perbedaan yang diusung oleh bangsa Yunani Kuno, dan kemudian Galileo, mengenai apa itu kenyataan secara fisik dan apa itu kenyataan psikologis. Locke kemudian mendapatkan pemahaman konsep ini dari Robert Boyle –gurunya. Qualities yang dimaksud disini adalah seluruh aspek yang memiliki peran untuk menghasilkan idea. Primary qualities menghasilkan idea melalui pengamatan hal-hal fisik dari suatu objek –seperti bentuk, gerakan, jumlah, kepadatan, dan sebagainya. Secondary qualities menghasilkan idea melalui pengamatan hal-hal yang tidak nyata wujudnya –seperti, warna, suhu, rasa, dan suara.
Locke, melalui paradox of the basins, membuktikan bahwa idea-idea di alam ini disebabkan oleh secondary qualities. Menurutnya, sebagian dari pengalaman psikologis kita merefleksikan wujud-wujud nyata dari objek-objek yang kita amati sebagaimana nyatanya (pengalaman ini disebabkan oleh primary qualities) dan sebagian lainnya tidak sesuai dengan kenyataannya atau membutuhkan proses berpikir untuk menginterpretasikan (pengalaman ini disebabkan oleh secondary qualities). Ia tidak sependapat dengan Galileo bahwa kenyataan subjektif lebih rendah kualitasnya daripada kenyataan fisik, melainkan ia berpendapat bahwa kenyataan subjektif dapat dipelajari secara objektif sebagai kenyataan fisik.
George Berkeley (1685–1753)
“To be is to be perceived.”
Berkeley menolak ajaran materialisme karena menurutnya ajaran tersebut menjauhi Tuhan. Melalui filosofinya, ia menunjukkan bahwa materi sebenarnya tidak nyata, sehingga semua klaim yang berdasar pada filosofi materialistik adalah salah. Ia setuju dengan Locke bahwa pengetahuan manusia didasarkan hanya pada idea. Barkeley juga menambahkan bahwa apapun yang kita alami melalui indera kita, maka itulah idea yang ada dalam pikiran Tuhan. Melalui pengalaman, idea yang ada dalam pikiran kita mirip dengan idea yang ada dalam pikiran Tuhan. Namun, ia menolak Locke yang berpendapat bahwa seluruh idea lahir dari interaksi-interaksi dengan dunia empiris. Menurut Barkeley, semua hal menjadi nyata selama dipersepsikan, dan begitulah realita terbentuk hanya oleh persepsi kita.
Alexander Bain (1818–1903)
Bain menjadi orang pertama yang menulis buku teks psikologi secara sistematis –yaitu, The Senses and Emotions, juga buku eksklusif yang membahas hubungan antara tubuh dan pikiran –yaitu, Mind and Body (1873).
Laws of Association
Bain mencetuskan law of compound association –yang menyatakan bahwa asosiasi terkadang menghubungkan satu idea dengan idea lainnya, dan law of constructive association –yang menyatakan bahwa idea-idea dapat disusun kembali menjadi kombinasi baru atau menjadi keseluruhan yang berbeda dari apa yang disajikan sebelumnya.
Voluntary Behavior
Menurut Bain, ada perbedaan antara perilaku refleksif dan perilaku spontan. Perilaku refleksif muncul secara otomatis untuk merespons rangsangan eksternal yang memengaruhi sistem saraf. sedangkan perilaku spontan bersama sifat hedonisme merespons suatu kejadian dengan tujuan memperoleh kenikmatan dan menghindari rasa sakit. Perilaku spontan disertai dengan tujuan hedonisme inilah yang dikatakan sebagai voluntary behavior.
Sensationalisme
Sensasionalisme adalah paham yang menitikberatkan pentingnya sensasi dalam menjelaskan seluruh pengalaman-pengalaman sadar. Sensasionalisme sebenarnya sangat mirip dengan empirisme, dimana keduanya sama-sama percaya bahwa pengetahuan berasal dari pengalaman. Bahkan, keduanya bersama-sama menentang rasionalisme, terlebih terhadap Descartes dengan kepercayaannya tentang pengetahuan bawaan lahir dan pemikiran otonom.
Pierre Gassendi (1592–1655)
Gassendi menyimpulkan bahwa manusia tidak lebih dari sebuah materi yang dapat dipelajari dan dipahami sebagaimana hal-hal lainnya di semesta. Ia mengkritik teori dualisme Descartes. Menurutnya, hanya benda-benda fisik yang dapat mempengaruhi dan dapat dipengaruhi oleh benda-benda fisik lainnya.
Julien de La Mettrie (1709–1751)
Melalui bukunya The Natural History of the Soul (1745), ia menyatakan bahwa pikiran sebenarnya terhubung lebih dari yang diasumsikan oleh Descartes. Ia juga menjadi salah satu filsuf modern yang menyatakan “you are what you eat.” dimana apapun yang memengaruhi tubuh juga akan memengaruhi proses pemikiran. Namun kemudian ia percaya bahwa di semesta ini hanya ada materi dan gerakan. Sensasi dan pemikiran juga tidak lebih dari sekadar gerakan-gerakan partikel dalam otak. Selain itu, menurutnya, kecerdasan manusia dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu ukuran otak, kompleksitas otak, dan pendidikan.
Positivisme
Positivisme adalah suatu paham yang menitikberatkan keilmiahan dalam melahirkan suatu pengetahuan. Sama dengan empirisme dan sensasionalisme, positivisme percaya bahwa pengetahuan datang dari pengalaman, bukan dari bawaan lahir (innate). Mereka juga tidak setuju dengan spekulasi metafisika. Bagi mereka, seluruh pengetahuan, bahkan juga pengetahuan moral, murni datangnya dari pengalaman.
Kemudian ketika sains mengenai fisik dan mental menyebar luas di seluruh Eropa, dan doktrin agama semakin dicurigai kebenarannya, muncullah saintisme dengan pendapatnya bahwa sains dapat menyelesaikan seluruh permasalahan manusia. Menurut para kaum saintisme, pengetahuan yang paling terpercaya (valid) adalah pengetahuan saintis. Dan disinilah positivisme muncul.
Auguste Comte (1798-1857)
Positivisme Comte
Menurut Comte, satu hal yang dapat kita ketahui pasti adalah hal yang dapat diamati dan diukur secara publik –yang “rasa”nya dapat dibagikan kepada orang lain. Data sains contohnya, dapat diamati secara publik dan dapat dipercaya kemudian.
Hukum 3 Tahapan
Comte mencetuskan sebuah hukum yang menunjukkan proses perkembangan pemikiran manusia dalam menjelaskan kejadian-kejadian alamiah di sekitarnya, yang selalu melalui tiga tahapan:
- Teologis (kanak-kanak) -> Fokus terhadap hal-hal supranatural dan religius sebagai akar dari segalanya. Penjelasan di tahap ini didasarkan tahayul dan hal mistis.
- Metafisis (remaja) -> Fokus terhadap hal-hal alamiah sebagai akar dari segalanya. Penjelasan di tahap ini didasarkan pada esensi, prinsip, penyebab, dan dalil yang tidak terlihat.
- Saintis (dewasa) -> Berlandaskan pada sains. Penjelasan pada tahap ini menekankan pentingnya prediksi dan kontrol terhadap fenomena alam. Pada tahap ini, positivisme mulai diakui.
Tahapan ini sekaligus menjadi alur sejarah perkembangan pemikiran manusia.
Ernst Mach (1838–1916)
Mach setuju dengan Berkeley dan Hume bahwa kita tidak dapat merasakan pengalaman dari dunia fisik secara langsung, melainkan kita hanya merasakan sensasi atau fenomena mental saja. Sehingga, ia bersikeras menyatakan bahwa konsep ilmiah lebih didefinisikan melalui prosedur-prosedur untuk mengukur daripada melalui “realitas tertinggi” atau “esensi”.
Komentar
Posting Komentar